Re-post
...:: How To Love ::...
Part 20
Story by @BieberLSIndo
***
Dan terimakasihlah, karena sakit hati seseorang bisa banyak belajar arti cinta.
***
2 days Next...
- Justin's POV -
"One peppermint mocha frappucino blended and one toffee nut latte. Any else?"
Selena menggeleng, lalu tersenyum manis pada penjaga meja pesanan kedai
kopi favoritnya yang terletak di tengah kota lalu mengangsurkan selembar
uang berwarna,
"Thank you" ujarnya lagi.
"Justin?" panggilnya pelan sambil mengambil cup latte milik Justin dan
menoleh ke belakang. Ia mengernyit saat mendapati tatapan kosong pemuda
itu tengah mengembara entah kemana.
"Justin?!" panggilnya sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras dan ketus.
Justin mengerjap lalu memperhatikan gadis berambut ikal di hadapannya
sedang mengulur kopi miliknya sambil mengangkat alis. Pemuda itu
tersenyum kecil lalu mengambil cup miliknya.
Selena menghembuskan nafas pelan lalu kembali menoleh ke depan. Ia
tersenyum saat menerima uang kembalian sambil mengucap terima kasih
lagi. Tak lama ia membalik badan dan menggamit paksa Justin untuk duduk
di salah satu pojok kedai.
Justin mengerutkan kening, memeperhatikan Selena yang baru melepas
gamitannya untuk menarik bangku. Justin ikut menarik bangku lalu
menghempaskan tubuhnya masih dengan dahi mengernyit dalam.
Selena menghela nafas lalu menggigiti sedotannya. Ia memandang Justin lekat-lekat.
"Are you mad at me?" tanyanya cemas.
Justin terkejut sebentar lalu menjawab,
"No... Why?"
"You've been silent all day long, like a human lives without the soul, what are you thinking of?"
Shara. Nama itu tercetus otomatis dari otak Justin tanpa diminta.
Memperparah denyutan menyakitkan yang tak mau hilang juga sejak semalam.
Denyutan, yang bahkan tak bisa dikalahkan euphorianya. Pula, ‘mantan’
gadisnya itu hari ini tak tampak batang hidungnya. Sama sekali. Bahkan
tak ditemukannya di sekitarnya. Hey. Justin tersadar sendiri. Benarkah
ia mencari cari gadis ‘tak penting’ itu sepanjang hari ini?
Justin terkesiap, seakan baru sadar seseorang menanti jawabannya,
"Nothing..."
"You.." Selena memandang Justin tajam sambil menjeda perkataanya,
"Are thinking of Shara, aren't you?"
Entah kenapa, Justin sedikit jengkel saat menyadari nada bicara Selena yang seakan menembaknya telak,
"Me and her have been broken up" jawabnya otomatis, entah kenapa sedikit kecewa.
Selena membelalak,
"Since?"
"For two days ago... When we're in London" jawab Justin, sedikit
menerawang. Tak lama ia memperhatikan Selena yang terlihat bimbang.
Perpaduan antara sedikit senang dan berduka,
"It is not just because of me, isn't it? (Ini bukan karena aku kan?)"
Justin menelan ludah. Karena seharusnya jawaban itu ‘iya’.
Ditelannya profil wajah tirus Selena dengan sengaja. Berusaha memerintah
otaknya agar memikirkan gadis di depannya saja. Bukan gadis yang tidak
lagi menjadi miliknya itu. Ia menjawab seadanya,
"No.. You said it's like a destiny, right? (Bukan.. Km bilang bukannya ini takdir, benar?"
Entah kenapa, Selena tak bisa menahan dorongan untuk tersenyum diam-diam.
***
- Shara's POV -
Tak dinyana hari-hari yang menggenang, perlahan membawa usaha ekspedisi
kecil kehancuran hatinya berkembang menjadi butiran kristal yg mengeram
menjadi susunan partikel bersenjang sebuat hati yg baru dan terasa nyata
berskala multinasional yang kian berkembang menuai detihan rasa-rasa
baru yg menyelinap. Ia juga sudah mulai menata kehidupan yg nyata,
kehidupan dimana ia harus belajar menyadari makna dari sebuah silabel yg
berbunyi 'Cinta'
Terkadang Shara berharap tak pernah memiliki hati. Dengan begitu ia
mungkin tak akan pernah merasakan sakit hati saat seseorang yg ia
sayangi meninggalkannya. Justin. Seketika Shara terenyak, ia menjegut
segenggam helaian rambutnya dan menubrukkan ujungkepalanya ke meja makan
dan tak berhenti merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya.
Benar-benar baru terpikir di otaknya untuk berhenti memikirkan yg sudah
amat jelas tidak lagi memperdulikannya, yup Shara harus bisa membenah
diri setelah kepergian pemuda itu.
Pagi itu, Wilson menyuap oatmeal-nya lalu memandang ke arah gadis orang lain yang duduk di meja makan yang sama.
“Jadi..” Wilson memulai ceramah rutinnya
“Kamu akan menginap kembali di rumah Justin...”
Shara terkesiap merasakan sesuatu yg besar tengah menyumbat aliran
pencernaan makanannya di tenggorokan, dengan sigap ia langsung mengesap
air putih dan menepuk ujung bibirnya dengar kain serbet. Shara
menghentikan kunyahan pada roti coklat yang sedang dilumat mulutnya
seketika. Ia mendengus lalu menelan gumpalan yang masih tertahan.
“Berhentilah, dad, dad sudah mengulang kejadiaan ini jutaan kali. Aku
udah gede, kalo daddy ada kerjaan diluar kota, aku bisa hidup dirumah
sendiri”
Stefanus mengernyit,
"Ga... Kamu perempuan, lagian disana ada yg bisa hibur kamu kan? Ada
Justin dan katanya pula Ryan ada disana jadi bisa main bersama kan?"
Shara mendelik, mengangkat bahu berusaha menyikapinya dengan acuh tak
acuh. Sambil berbilang, itu sebuah kenangan, dad. Dalam hati kecilnya.
“Daddy kurang sehat ya? Mau aku sakit lagi?” ucapnya, sengaja mengganti kata gila dengan kurang sehat.
Wilson memandang ke manik mata anak semata wayangnya yang berbinar Bengal
“Daddy ga ngerti apa yg kamu bicarakan, pokonya dan intinya kamu akan
tetap tinggal di rumah Justin selama ayah pergi” kata Wilson final
sambil menandaskan sarapannya.
Shara hanya mengangkat alis sekilas, lalu menyesap susu coklatnya dan berdiri,
"Aku berangkat dulu Dad"
Wilson melirik jam tangannya.
“Daddy baru sadar. Kenapa siang begini kamu baru berangkat ?”
“Hari ini hanya ada pembahasan materi untuk ulangan akhir caturwulan nanti. Gak penting.”
Wilson mengerutkan kening,
“Bukannya itu penting? Kenapa kamu seenaknya begitu?”
Shara mencibir jahil,
“Karena aku anak Pak Wilson”
“Shara….!” Kata Wilson jengkel.
Shara tertawa kecil, lalu ngeloyor pergi keluar dari ruang makan.
***
Next Week...
- Shara's POV -
"Hhhhh" helaan kata yang Shara ucapkan saat terperangah menatap
rumah-rumah yang ia lewati dari balik jendela mobil. Shara melongok ke
kanan dan ke kiri saat ayahnya membanting setir ke arah suatu kawasan
rumah-rumah mewah yang asri dan tertata.
Tiba-tiba mobil yang dikendarai ayahnya berhenti didepan sebuah pagar
hitam yang menjulang tinggi, belum lama mobilnya berhenti didepan
gerbang, tiba tiba gerbang itu membuka dengan cepat, secara otomatis.
Mobil Shara pun kini melaju lagi dan diparkirkan disebuah halaman rumah
yang luas.
Pikiran Shara kini mengawang sepanjang pagi, hingga mobilnya kini sudah mendarat di parkiran rumah Justin.
"Shar? Udah sampe.... Ayo cepat" ucap Ayahnya sambil membuka sabuk pengaman lalu keluar dari dalam mobil.
Shara mengangguk lalu ikut turun dari dalam mobilnya.
Ia mendesah lega lalu memandang ke penjuru rumah Justin. Ia tersenyum
miris saat memori-memori lama terpantul dari permukaan dinding dan
beberapa angel.
Sesaat Shara merasa ingin membeli mesin waktu dan kembali ke masa itu,
lalu buru-buru menggeleng sendiri. Tak sepantasanya ia berimaji muluk
lagi. Tidak saat ini. Senyum mirisnya ikut memudar, terganti desah nafas
berat gadis itu.
Tiba-tiba sosok Pattie muncul di balik pintu rumah yang besar.
"hey Wilson and Shara, cmon!" ucap Pattie mendekati Shara dan Wilson.
Shara seperti baru di sadarkan dari tidur panjang.
"Hey, Patti, I don't need coming in, I just wakt to pick Shara cause I have to go as soon as possible"
Pattie tersenyum dan bergumam,
"Don't worry Wilson, Shara is my daughter, I will take care of her, you just enjoy your work"
"Thanks Pattie" ujar Wilson sambil menahan jeda,
"Shar... Ayah pergi yah... Jangan nakal, ikuti semua perinta Pattie, oke?"
Shara mengendus malas,
"Dad... I'm not a kid oke?" Ujarnya.
"Oke oke," balas Wilson sambil mengacak poni Shara pelan
"Iya bawel, okey I've to go.. Bye"
"Bye..." Seraya jawaban Shara dan Pattie berbarengan, Shara menatap Pattie yang mulai menuntunnya masuk kedalam sebuah rumah.
Ketika Shara melemparkan pandangannya ke depan, dia berada dalam sebuah
rumah besar bertingkat 3 menjulang kokoh di hadapannya. Beranda depan
rumah itu sangat luas, ditopang oleh pilar2 besar yang terbuat dari
marmer. Begitu pula lantainya. Lampu kristal menggantung
angkuh di langit langit beranda, menyempurnakan segalanya.
Pattie mangantarnya hingga ke depan kamarnya.
"Shar, better you go taking a nap, oh iya, if you need something you can call me then"
ujar Pattie.
"Thank you... Mom" Shara menghembuskan nafas pelan lalu Ia tersenyum saat mengucap terima kasih.
"Anytime, my daughter" Pattie tersenyum miring, lalu membalikan badan pelan, melangkah menjauhi Shara.
Shara menghirup nafas sekali dan mulai memasuki kamar.
Shara berdehem sebentar, lalu memutuskan untuk duduk di tepi ranjang,
Shara menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dengan kalut, lalu
membanting diri kembali ke tempat tidur dan tak lama ia jatuh tertidur
karena kelelahan.
***
Shara tak tahu apa yang dirasanya. Seakan lega dan tersiksa mulai
merancu dalam satu makna. Ia membuka mata, meneliti langit-langit lalu
menutup matanya lagi. Dengan keadaan terpejam, gadis itu meraih guling
di sebelahnya seraya menguap pelan. Tiba-tiba Shara tersadar. Gadis itu
terkesiap, Ia mengerutkan kening lalu menguap pelan. Tak lama, ia
memutuskan untuk bangkit lalu memperhatikan sekelilingnya dari posisi
tidurnya saat mendengar suara berisik pelan.
Ini terasa seperti déjà vu saat ia di villa asing bersama…. Seseorang
waktu itu (part 37). Sesaat, Shara terdiam sendiri. Menyadari hati dan
otaknya ternyata sudah mau bekerja sama untuk tidak menyinggung nama itu
lagi.
Gadis itu menurunkan selimut tebal yang membalut tubuhnya, lalu turun
dari queen-size bed super empuk. Ia melangkah takut-takut menuju tirai
yang memisahkan bagian tempat tidur dengan ruang tamu kamar.
Shara menggembungkan pipi, terhenti ragu di depan tirai saat melihat
bagian belakang kepala dan sebagian punggung tegap Ryan menyembul dari
balik sofa yang membelakanginya. Ia menghembuskan nafas, menghitung
mundur entah untuk apa dalam hati lalu menyibak tirai dengan segenap
keberanian yang sudah dikumpulkan.
"Mmm.. Ryan?" sapanya pelan.
Ryan yang tengah menyimpan cangkir menoleh ke balik sofa, tersenyum cerah pada Shara.
"Hai.. Shar, emm.. Sorry.." katanya sambil mengedikkan kepala ke arah sofa terpisah di dekatnya lalu menoleh ke depan lagi.
Shara berjalan memutar, lalu duduk di sofa yang tadi ditunjuk Ryan. Ia menghela nafas sebentar lalu menunduk malu.
"Sleep tight?" Tanya Ryan.
Shara mengangkat wajah, menyusupkan jumputan rambut yang menutupi wajah ke belakang telinganya lalu mengangguk pelan.
"Sorry... I just bring your dinner, Pattie is asked me.. I didn't do anything" pemuda tampan itu tersenyum pelan.
Shara terperangah sesaat, Ia mendesah pelan.
"Sorry, I'm sorry to bother you" katanya sambil memberi senyum ragu pada Ryan.
"Hem.. Ya ya, you always say 'sorry'" ucap Ryan sambil tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
"Do you feel better or it still hurts you?"
Shara hanya menunduk, tidak tahu mau menjawab apa. Ia malah berkata
"No... Thanks..." Jawab Shara sambil menggeleng kecil.
Lagi-lagi Ryan tersenyum tipis dengan sejuta arti tersembunyi. Ia mengangkat bahu, seakan tak acuh,
“Never Mind. I will always wait until you recover injuries, for (gpp,
Saya akan selalu menunggu sampai luka kamu pulih kok. Bahkan)” Ryan
memandang gadis di hadapannya pelan,
"For ten years..."
Shara tertegun tidak mengerti apa maksudnya.
Ryan tertawa,
"Shar, would you mind teaching me Indonesia Language?" erang Ryan sambil menarik ujung alisnya,
Shara terkentuk lalu memutar bola mata. Akhirnya, Shara tersenyum tipis
pada Ryan sambil terus memperhatikan Ryan tanpa sadar hingga gadis
ceriwis itu balas memandang Shara sambil tersenyum malu.
"Oke, let's see" Shara hanya tersenyum.
***
- Justin's POV -
Justin berdeham sekilas, berusaha membersihkan tenggorokannya yang
terasa kering lalu menapak panjang menuruni tangga dan melangkah pelan
menuju dapur, berniat mencari sesuatu untuk diminum.
Begitu memasuki ambang pintu, ia menelaah tempat yang ditujunya sekilas.
Sepi. Pemuda itu mendesah. Kenapa sejak kemarin malam perasaannya
begini aneh ? Ia melangkah ke arah lemari pendingin, membukanya lalu
mencari-cari dan akhirnya memutuskan mengambil sekaleng susu putih dari
sana.
Ia terhenyak sesaat, memandangi figur beruang putih yang menjadi ikon
merek minuman yang baru diambilnya. Ia mencibir. Beruang putih di gambar
itu jelek sekali, jelas tidak serupawan boneka beruang raksasa yang
pernah dibelinya dulu. Untuk gadis itu. (Part 37)
Argh. Justin membanting pintu lemari pendingin dengan kesal, lalu
mengetuk-ngetuk dahinya tidak sabaran. Kenapa otaknya tidak bisa
berpikir jauh jauh dari sana coba?
Pemuda itu membuka tutup kaleng lalu menyesapnya tepat saat dua orang
berjalan beriringan dari luar pintu, berceloteh tak henti, sepertinya
tak melihat penampakan Justin disana.
"Yeah thanks, Shara will stay for long times, may be..."
"She has gone upstairs then.."
Justin mendelik ketika dua orang itu membicarakan Shara ada di sini. Ia
mendengus kesal entah kenapa lalu keluar dari dapur sambil mereguk isi
kaleng susunya. Apa-apaan maksudnya itu ?
Pemuda itu menaiki tangga lagi menuju lantai empat, lalu melangkah pelan
kearah sebuah kamar yang ternyata tak tertutup rapat. Baru saja akan
mendorong pintu, Justin terdiam di tempat. Sesuatu memakunya untuk
memasang telinga. Ternyata ocehan orang di bawah tadi tidak salah. Mau
tak mau, jantung Justin mulai berdetak lebih cepat. Begitu tiba-tiba,
Angin membawa sesuatu dalam alirannya, sebuah suara yang dulu ada pada
nostalgia, yang tak pernah didengarnya setelah cukup lama. Tawa Shara.
“You're wronggg hahaha this, listen. Ibu pergi ke pasar”
Suara lembut itu disambut oleh suara lain. “Ha? Aibiu pier... Ah! Difficult”
“Hmmmpf Ryannnn it's easy, so I win, don't I?!!”
Terdengar jeda waktu cukup lama, hingga akhirnya suara kedua tadi menjawab dengan nada jahil,
“Ammm okee.. Don't know but.. I think my score is bigger than you”
“Huuuuu... This.. Look at this?”
“Oke oke I will try again...” setelah itu suara sang pemuda terdengar ikut tertawa.
Justin mencengkram kaleng susu yang kini kosong di tangannya.
Lamat-lamat ia bisa mendengar jantungnya melagukan denyutan yang sama.
Mungkin karena menyadari kenyataan. Bahwa belakangan ini memang tak
pernah dibuatnya gadis itu tertawa lagi.
Justin mendorong pintu tanpa berpikir lagi,
“Ryan,” panggilnya keras. Ia memperhatikan Ryan yang tengah menyesap isi
sebuah cangkir keramik lalu beralih pada Shara yang sedang memeluk
bantal. Entah kenapa Justin merasa mencelos ketika mendapati senyum lucu
gadis itu pupus perlahan ketika melihatnya masuk.
Namun di sisi lain, untuk satu alasan. Tanpa senyuman, Shara kini berani
menantang mata Justin. Mungkin karena gadis itu yang mengambil
keputusan utnuk mengakhiri hubungan terlebih dulu, ia bisa merasa
sedikit di atas awan.
Lagipula, telah dimatikannya sisi hati untuk Justin. Gelap. Bahkan kenangan padanya sudah berangsur lenyap.
Tak lama, Shara mengalihkan pandangan ke arah Ryan lagi,
“I think I wanna go to down” ia tersenyum sesaat,
Gadis itu menghela nafas panjang lalu berdiri dan melangkah menuju pintu
tempat Justin berdiri tanpa peduli. Seakan pemuda itu tak ada disana.
Sementara Justin terdiam saat bumerang itu seakan kembali menyerangnya.
Gadis itu melangkah ke arahnya tanpa ekspresi lalu melewati tubuhnya
dengan kata,
“Excuses me,” yang terdengar tak berarti.
Shara baru saja akan berjalan melewati Justin, saat tiba-tiba pemuda itu
menahan tangannya, menyentaknya hingga berbalik menatapi wajah tampan
itu.
"So I heard you found someone else,but that still cant erase all the
time we shared together..." ujar Justin sambil mendelik ke arah Shara yg
menunduk.
Dan Shara menahan nafas saat memperhatikan Justin menatapnya begitu lekat dengan pandangan tak terbaca.
"Does he make you laugh like I did?" Ujar Justin lagi sambil melirik
dengan ekor matanya ke sudut arah Ryan yg tengah menonton ke arah
mereka.
Shara menghela nafas, menatap pemuda itu marah,
"He doesn't make me cry like you did"
Gadis itu menarik lengannya dari penjara telapak Justin dengan kasar,
lalu membuang pandangan ke arah lantai di sisinya, mencari ketenangan di
antara keramik marmer yg ditatapnya. Emosi menyulut manik matanya
hingga Shara terperangah.
"I know we're broken up, but that don't mean anyone else can have
you..." Ujar Justin yg lantas tak lama Justin lepas dan kembali
memaksanya untuk menyentak pergelangan tangan Shara.
Lagi lagi sentuhan pelan pada lengan Shara dari belakang, menyentak dan
membuat Shara tersadar bahwa ucapan itu bukan fantasi ataupun
halusinasi. Gadis itu, mau tak mau, akhirnya memutuskan memutar tubuhnya
kembali, menghadap Justin yang memang berdiri disana.
"You... have made me fell, you have made me cried...you who lied... you
had my trust you had my love you had my heart and you have broken it,
Maybe you've broken my heart, broken into a million pieces... is not it
ENOUGH for you?!" sergah gadis itu, menampik telapak Justin. Walau tanpa
sadar, ternyata masih ada juga sedikit sentilan harap dalam relung
Justin. Melupakan seketika semua pikiran pahit yang meracuni benaknya
selama ini, rasa sayangnya pada pemuda ini faktanya memang terlalu
besar. Hingga ia sendiri tahu bahwa ia akan langsung melupakan semua
kesalahan Justin sebenarnya jika pemuda dihadapannya bisa
mempertahankannya.
Gadis itu menghela nafasnya yang tak beraturan, lalu memutuskan
berbalik, perlahan melangkah menuju tangga. Masih dengan jutaan
pertanyaan dan pernyataan, terutama dari masa lalu, yang tak henti
mengiringi.
Di sisi lain Justin tersentak, ia mengepalkan tangan kuat-kuat di
tempat, saat mendapati menjauhnya punggung Shara, yang masih juga
menggoda, seakan memanggil Justin untuk mendekapnya. Ia sendiri tak tahu
kenapa ia diam saja. Tak membalas, tak menyanggah, tak melakukan
apa-apa. Padahal ia menyadari banyak hal bergolak dan melecut-lecut
dalam jantungnya.
Lantas pula, Shara meninggalkan jejak harum adiksinya yang teramat
kental pada udara, membuat Justin tercekat hingga tak mampu menahan
dorongan untuk membiarkan matanya mengikuti langkah menjauh gadis itu.
Mungkin Justin tahu mengapa denyutan itu terasa menyakitkan.
Karena kini, ia menyadari ia tak lagi punya wewenang, bahkan untuk
sekadar berdiri di depan Shara tanpa berbuat apa-apa, seperti yang dulu
pernah dilakukannya saat ia menganggap gadis itu tidak berharga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar