Senin, 28 Januari 2013

How To Love - Part 19

Re-post 
...:: How To Love ::... 
Part 19

Story by @BieberLSIndo


***


 "Part of me wishes that i could forget you too. Forget meeting you, finding what you are and everything that has happened. Because i don't want it to be like this. I don't want to feel like this. But i can't. With everything that has happened, i can't loose the way i feel about you." - Elena Gilbert, The Vampire Diaries.

***

The day after.

Pagi itu, Shara masih melayang di tepian danau mimpi semunya saat tiba-tiba terdengar gedoran keras di pintu kamarnya. Gadis itu tersentak, mengerjap cepat lalu melirik ke arah weker dan tanggalan di sebelah tempat tidurnya. Jam setengah tujuh, hari sabtu. Shara mengucek mata sambil menelan ludah. Shara bangkit dan berjalan panik, mencari lalu menyampirkan handuk pada pundaknya dan membuka pintu yang masih di gedor. Ia tersenyum meminta maaf pada ayahnya yang tengah berkacak pinggang.
"Shar? You haven't taken a bath, have you? Oh Shara!! Cmon we have to go" seru lelaki itu sambil mendelik.
"Sorry hehe" kata Shara sambil mengatupkan kedua tangan.
"Aku mandi sebentar boleh ya,dad?"
Wilson menggeleng-geleng,
"Ini sudah jam berapa ? Mandi lima menit." katanya tegas.
"Tujuh menit ya, dad" tawar Shara sambil mengacungkan tujuh jarinya, lalu langsung menuntup pintu kamar hotelnya dan berlari kabur ke kamar mandi, mengacuhkan ayahnya yang berteriak-teriak
"Tujuh menit. GA LEBIH !"
Akhirnya gadis itu berbilas super kilat, lalu berbenah diri dan buru-buru menuju lobby hotel untuk bertemu yang lain.
Setelah pintu lift terbuka Shara mengangkat wajah, dan pada saat itu pula Shara terpaksa berhenti mendadak karena tiba-tiba seseorang berhenti tepat di depan wajahnya. Tak lama orang itu terbang mengambang ke samping, menunjukan wajah tampan seorang pemuda. Justin.
Shara terperangah.
Justin memandangi gadis di hadapannya, lalu tanpa tedeng aling-aling menarik tangan Shara agar mengikutinya ke halaman depan.
Shara memandangi telapaknya yang digenggam jemari besar Justin, kehangatan itu mengusiknya. Lalu gadis itu bergerak memperhatikan tubuh pemuda yang dibalut kaus putih super polos dipadu celana jeans selutut. Terlalu santai untuk ukuran Justin Drew Bieber.
"Justin," katanya tertahan, berdiri diam di satu titik hingga Justin tersentak dan berbalik badan
"Where are you going?" Tanyanya.
Pemuda itu mengernyit,
"Hang out"
"But... My dad?" ucap Shara tertahan.
"I have told him," jawab Justi.
"But Sel.." sahut gadis itu pelan.
Justin mengernyit lagi,
"Don't ask too much, just go" ujar Justin tersenyum meremehkan.
Shara mengangkat bahu, Gadis itu menghembuskan nafas, merasa sedikit ganjil ketika menyadari betapa rindunya ia pada saat-saat seperti ini, masa-masa perdebatan lidah dengan pemuda ini, seperti sebelum segala hal memusingkan menyangkut hati terjadi. Ironisnya, kenapa saat-saat ini harus berulang saat Shara telah memantapkan keputusannya lagi bahwa ... Ah, gadis itu tersadar sendiri. Ia melepas dari genggaman Justin.
"Oke" ujar Shara berusaha tersenyum.
Justin tersentak sekilas ketika Shara melepas cengkraman tangannya. Senyum gadis itu dan panggilannya yang dulu, membangkitkan perasaan Justin akan sesuatu. Sesuatu yang membuat lidahnya kelu. Tapi tidak boleh. Ada alasan tersembunyi mengapa Justin rela menemani Shara sepagi ini.
Kemarin, terjadi konfrontasi kecil antaranya dengan Selena. Gadis berwajah tirus itu hampir menangis karena menuduhnya menyembunyikan sesuatan. Isakan Selena membuatnya ditampar janjinya sendiri bahwa gadis itu takkan menangis di hadapannya lagi, membuatnya bingung, membuatnya membutuhkan zat adiksi itu dalam kadar tinggi untuk mempertahankan kewarasannya agar cukup untuk menghadapi Selena lagi. Dan karena itulah ia mencari Shara, tak lain karena kebutuhan yang harus dipenuhinya. Kembali, untuk Selena.

***

Mencoba tuk pahami
Mencari celah hatimu
Bila harus menangis
Aku kan menangis
Namun air mata
Kini telah habis

***

Justin menarik nafas, menyalakan starter mobil lalu tak lama menggerakkan setir. Sesungguhnya, ia mati gaya. Tak tahu harus berbuat apa. Banyak hal tiba-tiba mengaduk benaknya saat ini juga. Sambar-menyambar. Shara. Selena. Shara. Selena.
Justin tercekat lagi saat menyadari satu hal.
Pemuda itu mencoba memutuskan dengan menyelami dasar otaknya, lupa bahwa jairngan itu tenagh dikacaukan euphoria. Yang takkan dikalahkan apapun, karena ini waktu puncaknya ia Berjaya. Justin tak mengerti bahwa hal yang begitu kilat datang, secepat itu pula akan menghilang.
Maka, ia menjawabi keresahannya sendiri dengan logika. Tanpa bertanya pada organ kecil lain yang berwenang dan sesungguhnya lebih dapat dipercaya. Ditampiknya rasa bersalah yang menyelinap dengan kegilaan yang sama. Maka antara Selena dan Shara. Tak ada sedikitpun suara untuk nama gadis kedua tadi di benaknya.
Penantian dan ikrarnya tempo hari, lantas segala euphoria gila ini, membuatnya tak mampu mengenyahkan segala ingatan tentang Selena. Seakan kini, jika tak memikirkan gadis kecilnya itu sedetik saja, ia lebih baik bunuh diri.
Untuk membunuh kebisuan waktu, pemuda itu memutuskan menyalakan radio. Berharap sayupan intro lagu bisa memendam otaknya yang sedang riuh.
Justin mencuri pandang kearah Shara lewat sudut matanya, memperhatikan gadis itu menghela nafas panjang kelewat lelah sambil memainkan ujung roknya gelisah. Sesaat, sesaat saja ada deburan kecil dalam dadanya. Monster masa lalu, teman seperjuangannya saat berusaha menggapai gadis ini sempat menggeliat, lalu dipaksanya untuk mati suri lagi.
Dengan sikap seenaknya, Justin seakan baru menyadari. Mungkin benar bahwa sudah terlalu banyak pengorbanannya untuk Shara. Terlalu lama waktu yang disia-siakannya utnuk gadis ini, yang andai saja dapat dimintanya lagi lalu diberikannya untuk Selena.
Justin tak sadar, bahwa sikap egois dan sok tahunya pada diri sendiri itu terlampau menyakiti. Bagi sang gadis destinasi yang bahkan sesungguhnya tak mendengar racauan otak pemuda itu tadi.
Sementara Shara sedari tadi menghitungi berapa banyak mobil disepanjang jalan itu. Ia bingung sendiri mau berbuat apa. Juga tak mengerti. Setelah itu, Shara memutuskan menekan punggung tangan kanannya dengan telunjuk kiri, ingin memastikan apa telunjuknya lalu akan menembus udara atau tidak. Entah untuk keberapa juta kali, ia menghela nafas. Shara bahkan tak berani sekadar melirik pemuda di sebelahnya. Ia takut mendapati penolakan terpancar di mata Justin dan dirinya pun merapuh lagi.
Ini bukan apa-apa kan, Shara? batinnya mencoba menguatkan diri sendiri dengan rapalan mantra munafiknya yang biasa. Bukankah kamu sudah berkata asal dia di sisimu saja tak apa ? Bahkan walau hanya sepotong raga, tanpa jiwa, tanpa cinta.
Shara tak sadar dirinya mulai gila, karena ia bergegas menjawabi pertanyaan internal hatinya sendiri. Iya. Bukan. Apa. Apa.
Entah sayatan macam apa yang akan membuka dan menggarami lukanya lagi nanti. Gadis itu tak berapa peduli. Pikirnya, yang penting Justin disini, dalam interval beberapa inci. Walau Shara menyadari bahwa pemuda itu telah membentang jarak sejauh matahari. Jarak yang sengaja direka Justin agar gadis itu tak bisa mencapainya lagi. Tapi Shara berjanji takkan menyerah hingga kesudahannya tiba. Angin telah membisiki telinganya bahwa kiamat yang dikiranya ini bukan kiamat. Hari-hari ini baru permulaan, yang akan menguras hatinya sedemikian rupa hingga ia tak mampu lagi mengeluarkan air mata.
Shara menghentikan pikirannya saat merasakan mobil Justin tak lagi menderu. Ia mengangkat wajah lalu terhenyak saat melihat dimana Justin baru saja berhenti. Tower Bridge London.
Justin sudah memarkirkan kendaraan kesayangannya di lapak parkir vallet. Mereka akan berkeliling tanpa kendaraan, mereka akan mengintari indahnya Tower Bridge dengan berjalan kaki.
Shara menoleh ke arah Justin.
"Calm down... I have this!" ujar Justin lalu memakaikan topi hitam hoodie dan tak lupa kacamata yg setia menemaninya kemanapun dia pergi.
Shara hanya mengangguk lalu turun dari mobil dan berjalan berdampingan dengan Justin menelusuri salah satu pusat wisata di London.
Tangan Justin meraih tangan Shara, dengan lembut dia terus memegang jemari Shara sepanjang perjalanan. Shara terenyak, ia memandangi tangannya yg berpautan dengan tangan Justin. Memejam mata sambil menancapkan juru doa di dalam hatinya. Jika ini untuk terakhir kali, biarkan, biarkan dia melangkah bersamaku...

***

Tak larut Sebuah struktur dan situs yang paling mengesankan di ibukota, Tower Bridge di London yg berdiri di atas Sungai Thames sejak 1894 dan merupakan salah satu landmark yang paling dikenal di dunia.
Justin menjelaskan sedetail-detailnya sejarah tentang tempat wisata yg sedang mereka pijak, setelah seluruh Tower Bridge sudah dijajaki selesai Justin menutup susunan sejarah yg ia kuasa dengan memandang Shara dengan wajah bangga, membuat gadis itu tak mampu menahan senyum gelinya.
"Why are smiling?" tanya Justin sedikit tersinggung.
Shara menggeleng sambil menahan senyum lalu melirik jam ditangannya,
"Justin, may we go home now?"
"Hem?" tanya Justin bingung.
Shara tersenyum tipis. Menyiapkan diri, jawabnya sendiri dalam hati. Ia menatap Justin sekilas lalu mengangguk mendahului pemuda itu.
"Shara!" seru Justin tertahan, membuat Shara menoleh lagi dan bertanya,
"Why?"
"Wait me..." kata Justin, menyusul dan berdiri di depan Shara lalu mencengkram lengan gadis itu erat-erat.
Shara mendesah, lagi-lagi. Tapi entah kenapa gadis itu tak menampik genggaman Justin kali ini. Mungkin karena toh ia tahu waktu itu kian mendekat. Biarlah ia merasakan debaran liar ini untuk terakhir kali.
Justin kini berjalan di depan Shara. Setelah keluar dari area Tower, Justin sigap membawa Shara kemobilnya yg tak terlampau jauh dari pintu keluar. Justin melepas tangan Shara lalu mendorong gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya, diikuti dirinya.
Setelah mobil sudah berada di tengah jalanan yg mulai dirayap oleh beberapa mobil lain, seperti biasa Tak ada suara ketika mobil berjalan selain lagu yg mengalun sayup dari radio mobil. Lalu entah siapa yang memulai, mungkin karena suasana yang terbawa, mata Justin dan Shara bertumbukan di saat yang sama. Angin alam yang berhembus dari jendela kaca buram membawa harum Aigner dan kayu manis itu untuk saling bertukar.
Shara menunduk jengah lalu tak lama mengangkat wajah saat melihat tangan Justin menggenggam jemarinya. Sesaat, Shara merasa kisah ini begitu sederhana. Hanya ada dia, Justin dan waktu yan seakan tak pernah berlalu.
Seandainya Shara bisa menghentikan semua disini. Ada rasa damai yang menyelinap saat gadis itu melihat Justin memejamkan mata, sambil merengkuh jemarinya mendekati jantung pemuda itu sendiri.
Shara tahu bahwa waktu, nyatanya takkan bisa dikristalkan. Ia mendesah lalu menggenggam tangan Justin erat-erat pula. Tahu bahwa semua ini akan berakhir sebentar lagi.
Mereka sedang mengawang sejenak, dan saat mereka kembali pada dunia bernama realitas, takkan ada lagi mimpi-mimpi ini.
Shara tersenyum tipis, dalam usaha menahan tangis yang hampir kabur dari sudut matanya. Ia menghela nafas, tak bisa menahan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu Justin. Dan merasa, bahwa kadang membohongi diri untuk terakhir kali, takkan ada salahnya.

***

Segalanya telah kuberikan
Tapi kau tak pernah ada pengertian
Mungkin kita harus jalani
Cinta memang cukup sampai disini

***

"Cheating MUCH?!" (CUKUP selingkuhnya ?!)
Seruan emosional itu menyembur dari sebuah suara renyah, tepat ketika Justin dan Shara bergerak memasuki hotel melalui lobby sambil tertawa berdua karena mengingat tingkah laku pemuda itu di Tower Bridge tadi.
Justin terkesiap, sekejap melepas genggaman jarinya yg menyatu dijari Shara,
"Sel?" pemuda itu tergeragap. Ia bergegas menghampiri tubuh Selena yang bergetar penuh kemarahan. Pemuda itu terkejut ketika gadis itu menampiknya.
"Don't touch!" seru Justin menjauhi lengan Justin, menahan air mata yang mulai menggelegak dari pelupuknya.
"Sel.. Please listen to me" ujar Justin pelan, berusaha meraih gadis itu.
"You said" ucap Selena sambil berjalan mundur dan menuding Justin,
"You said you didn't want to make me crying again, did you huh? But now? You're with her... (kamu ga mau bikin aku nangis di depan kamu lagi ! Tapi sekarang ?! Malah kamu sama dia ...)" gadis itu ganti menuding Shara yang diam mematung.
"And you!" kata Selena kalap sambil berjalan mendekati rival Shara dan menunjuk gadis tak bersalah itu dengan telunjuknya,
"i said. STAY. AWAY. FROM. HIM ! Isn't CLEAR MUCH ? Don't you know i need him ? More than you do !" gadis itu memainkan dinamika nada ucapannya dengan baik, menekan pada kata kata tertelak, kali ini ia mendesis.
"And this is called fate .. Something that can't be avoided. I belong for him. And vice versa. So, let him go ! CAN'T YOU ?! (Dan inilah takdir .. Sesuatu yang ga bisa dihindari. Aku milik dia, dan sebaliknya. Lepasin dia ! GA BISA ?!)" kecemburuan buta membuat Selena seakan akan dengan pongah mendahului nasib.
"Sel .." Justin merengkuh bahu Shara yang berguncang dari belakang, memeluk gadis itu demikian erat untuk meredakan emosinya. Ia tak menyangka gadis itu akan semeledak ini. Justin tak tega melihatnya.
"Justin" panggilnya pelan, menenangkan "Sorry. But.. She is nothing for me (Maaf. Tapi .. dia bukan siapa-siapa)" Justin menatap Shara sekilas, seakan karena kesalahan gadis itu lah Selena-nya menangis lagi, euphoria kecemasan membutakan ingatannya pada tawa yang padahal baru saja terpeta tak lama ini.
"She is nothing for me (Dia bukan siapa-siapa)" ulang pemuda itu
"She is just..." sepah yang harus lekas dibuang setelah zat adiksinya sudah cukup memulihkan kewarasan Justin lagi.
Pemuda itu memandang Shara tajam, memuntahkan kata katanya,
"just past that after this, would no longer worth (cuma masa lalu yang setelah ini, takkan lagi berharga)"
Shara terhenyak, merasakan kenangan mulai menguburnya dalam kepahitan tak tertanggungkan. Setitik air mata merembes tanggulnya, karena sesak itu tak mampu lagi ditampung rongga dadanya. Shara mengerti setelah ini, setiap tarikan nafas adalah satu tarikan nafas lagi mendekati kematian. Kematian hati. Dan ia tak peduli. Karena inilah. Akhir dari segala akhir.

***

Mencoba tuk rasuki
Menyentuh palung jiwamu
Bila harus mengiba
Aku kan mengiba
Namun rasa ini
Telah sampai diujung lelahku...

***

Inilah. Akhir. Cerita. Cinta.

Sesungguhnya, Shara tak seberapa terganggu dengan tragedi siang tadi. Karena itu yang diam diam ia tunggu. Pelatuk fatal yang harus ditarik agar keputusannya semakin siap dipentalkan.
Shara sudah tahu bahwa segalanya memang serupa bom waktu. Yang sudah terpicu sejak awal malam itu. Dan saat-saat singkat bersama Justin hanya sela dalam detik sampah yang dipulung tak rela untuknya. Lalu siang tadi sampailah sulutan itu pada utasan terakhir sang sumbu. Yang lantas meledak dan menghancurkan segalanya menjadi abu, termasuk sampah itu.
Pintu jati ini, lagi-lagi terdaulat menjadi saksi. Atas segala yang telah dan akan terjadi. Terkenang di benak Shara pelatuk yang dilepas Justin pagi tadi. Dan disinilah ia untuk mengamini ucapan itu. Masa lalu tidak berharga ini harus terputus, agar pemuda itu bisa berjalan terus.
Shara memasuki kamar Justin tanpa mengetuk. Apapun yang terjadi, ia sudah tak mau lagi peduli. Karena telah diterimanya cacian yang paling menyakitkan hati. Cacian penolakan yang tak sanggup lagi mementahkan keputusannya kali ini.
Shara memegangi jantungnya sendiri. Sesuai janjinya pada Ryan, tak boleh ada lagi air mata yang terkuras sehabis ini.
Dan hati mengenal kepedihannya sendiri, yang tak bisa dipungkiri penampikan. Kepedihan menguliti hati Shara hingga berdarah, ketika mendapati punggung pemuda itu tengah berada di balkon, memunggungi pintu kaca yang terbuka dimana didekatnya Shara berdiri.
Dan disinilah Shara, dengan setiap inci keteguhan hati. Yang kali ini takkan dibiarkannya tergoyahkan apapun lagi.
Begitu banyak yang ditahan dalam ujung lidahnya. Semua kenangan, kenyataan bahkan angan yang belum sempat terpetakan. Segala perjuangan teramat panjang yang ternyata sebegitu singkat dipertahankan. Semuanya tersumbat dalam pangkal tenggorok gadis itu.
Shara melangkah pelan memasuki ambang pintu, membiarkan derapnya tak terdengar. Gadis itu terdiam, merenungi tiap waktu yang tersisa seakan ini akhir hidupnya, membiarkan potongan siluet tegap itu menyihirnya, siluet yang membuatnya terperosok lebih dalam lagi.
Beberapa menit yang terlewat tanpa sedikitpun suara mulai terasa mencekam. Hingga akhirnya suara sedingin laut baltik itu terdengar,
"Looking at me?"
Pertanyaan itu menyentak Shara, menyadarkan Shara bahwa sesungguhnya pemuda itu tahu ia disana. Dan cara panggilan siluet itu untuknya kali ini, membuat gadis itu mengerti pula bahwa ia memang bukan siapa-siapa lagi.
Shara menunduk lalu mengulum bibir, tiba-tiba tak tahu bagaimana memulai penghabisan ini karena lidahnya kelu. Lantas lagi-lagi disiakannya waktu yang terus berlalu.
"How long will you stand there?"
Shara mengangkat wajah tepat ke ketika mendapati Justin menengok sekilas ke arahnya lewat balik bahu. Bola mata pencair tembaga itu mengeras, lalu tak lama pemuda itu membuang pandangan ke depan lagi.
Shara menggigit bibir, memainkan jarinya lalu menghela nafas panjang sebelum melantun balasan.
"Just a minutes...," jawab gadis itu telak, membuat Justin diam-diam tersentak.
Tiga ujaran penghambat keputusan Shara kala itu. Dua belas silabel yang kini terasa hampa. Karena gadis itu menyadari bahwa 'sebentar' pun hanya kata. Kerancuan makna bisa membuatnya berarti, berlaku dan berakhir kapan saja. Mungkin esok hari, sepuluh tahun lagi atau bagi Shara, bermakna kini. Detik berarti yang terus menetes dan tergenang mati.
Ini apa yang sebenarnya ingin ia katakan di taman tempo hari.
"You know what? Recipients said it was understood to what extent its power to survive. Three words that had made him numb. And he could no longer understand what its purpose (Kamu tahu ? Penerima kata itu sudah mengerti sampai batas mana kekuatannya untuk bertahan. Tiga kata itu sudah membuatnya mati rasa. Dan tak bisa lagi ia mengerti apa tujuannya)"
Shara menghela nafas panjang. Karena ia tahu setelah ini setiap tarikan nafas dan kata akan terasa menyiksa. Diiringi keperihan dalam torehan yang memeluknya hingga ke tulang. Dengan ulu hati tertekan butiran kristal yang coba ia tahan, gadis itu berdeklamasi melanjutkan.
"The past can't be erased, but It's not about the memories that come with the past that need to be forgotten and... That's us (Masa lalu mungkin memang tidak bisa dihilangkan, tapi paling tidak .. ada titik dimana ia bisa dilupakan dan tak lagi perlu untuk dikenang. Lalu ... begitulah kita)"
Shara menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Karena sungguhpun, tiap goresan kata membuka lagi lembaran peristiwa yang pernah berlangsung di antara mereka.

Disneyland. Hujan. Kenangan.

Atas gedung. Lantunan lagu. Pernyataan pemuda itu.

Makan malam. Sebuah tarian. Suatu perayaan Anniversary di Paris.

Namun entah kenapa segalanya menjadi begitu asing. Seakan ingatan milik orang lain dijejalkan paksa dalam batok kepalanya. Bahkan tawa yang sempat terlagu pagi tadi terasa bergaung begitu jauh dari dasar hati.
Lantas, klimaks penolakan itu bergema pula. Terpantul teramat kentara dari sel-sel otak Shara. Menyesah jantungnya yang sudah mulai bernanah.
Shara menarik nafas, lalu memandang ke arah langit hitam. Seolah mencari ketenangan dari angkasa kekelaman. Seolah kidung perpisahan sudah dapat didengarnya bersenandung mengoyak langit malam, gadis itu berkata lagi.
"it imma leave everything in the past choices, mistakes, and mainly relationships if we broke up that's how its going to stay"
Shara mengejang, lalu melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang punggung Justin, ia mendendangkan kata penghabisannya. Lirih,
"And than... Thank you for how you comforted me when I was totally down... Thank you for times of you who made everything perfect for me... Thank you for putting a smile on my face... Thank you for the broken heart... Thankyou for everything... Cos after this, nothing will be reminded and thankyou cos you have ever been mine Maka terimakasih untuk segalanya. Karena setelah ini takkan ada lagi ingatan yang harus dikenang, terimakasih ... Karena kamu sudah pernah ada."
Dengan segenap keberanian yang tertinggal, Shara menyusupkan kedua lengannya untuk memeluk tubuh Justin dari belakang dan membenamkan wajahnya disana. Membiarkan harum pemuda itu mencekat nafasnya untuk terakhir kali.
Bahkan udara tak diizinkannya mengisi sela kosong yang tersisa.
Shara tak ingin detak ini berakhir. Namun, pelukan itu ternyata terlalu menyesakkan. Sedingin pelukan kematian. Pelukan yang menjejal kenyataan bahwa mereka harus berpisah jalan. Dan bahwa takkan ada lagi alasan pembantahan.
Shara menggigit bibir, melepas kungkungan lengannya lalu berlari pergi.
Gadis itu menutup pintu ruang eksekusi hatinya dengan keras, lalu berusaha menarik udara dengan nafas tersengal. Tangis yang ia tahan mati-matian ternyata menekan jantungnya yang menyesak.
Shara mulai berjalan tersaruk, seperti orang yang mengidap gangguan pernafasan saat didengarnya sebuah suara menyejukkan.
"Shara?"
Gadis itu menoleh melihat Ryan berdiri di dekatnya dengan tatapan penuh kecemasan. Seakan tahu apa yang baru terjadi, ia bertanya pelan,
"Broke up?"
Shara mengulum lidah, lalu berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk busur senyum yang dipaksakan dan mengangguk.
Lalu tiba-tiba, seakan tahu inilah pemuda yang telah menyiapkan bahu untuknya, sebutir air mata menuruni pipi Shara.
"Don't..." gadis itu bergegas menghapus tetesan yang muncul seenaknya tadi, tanpa sadar bahwa gerakannya membuat kawanan air tadi tak mampu ditahan lebih lama lagi.
"Enough..." Ryan menarik Shara ke dalam dekapannya lagi. Membiarkan udara membawa senandung kesedihan gadis itu yang rela didengarnya untuk kesekian kali.
Shara akhirnya meluruh dalam rengkuhan itu, membiarkan tangis mengalirkan semua kesesakan keluar dari pembuluh darahnya. Membiarkan harum lain ini mengembalikan nafas dan mencuci bersih ingatannya.
"So-so-sorry." ujar Shara di sela isakan.
"It's the last for Justin..."
Shar tak tahu kenapa matanya berkunang, atau apakah Ryan betul betul mencium puncak kepalanya. Karena setelah itu pening hebat datang. Dan segalanya menghilang.

***

Sementara, Justin sendiri tak tahu mengapa tubuhnya terpaku sedari tadi. Mungkin ikrar yang pernah dilontarkan lidahnya pada Selena, membuat organ yang sama tergembok hingga ia tak dapat mengucap satu pun kata.
Lalu tak lama angin berhembus. Membawa sisa harum kayu manis itu melayang di udara lalu menyapa penciuman pemuda yang sama. Justin terkesiap ketika kesadaran meluluhlantakkannya.

Shara. Yang sudah bukan miliknya.

Justin tak tahu. Kenapa setelah itu ada bagian hatinya yang terasa berdenyut-denyut menyakitkan. Seolah kehilangan.

***

Segalanya telah kuberikan
Tapi kau tak pernah ada pengertian
Mungkin kita harus jalani
Cinta memang cukup sampai disini


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar