Senin, 28 Januari 2013

Justin Bieber’s Believe Acoustic Album Could Make History!


Justin Bieber’s BELIEVE acoustic album drops January 29th. And if he scores #1 on the Billboard 200, then he’ll have two historical moments under his belt:
1). As the first artist under 19 to have five chart-topping albums.
2). As the 10th act to score a #1 album in four years in a row.

As of Jan2013, Justin’s tied with Miley Cyrus at four chart-toppers at such a young age. If Justin manages to crush those broken records, hopefully that will mend his broken heart. :)

Support Justin – buy his album.
Buy BELIEVE Acoustic album via Amazon.
Buy audio mp3 via iTunes


Backstage Miami: Justin Bieber, Scooter Braun and Jaden Smith!


@scooterbraun:
So @iputthesocietyonmyback and @justinbieber are ready for the show backstage. #believetour. Then they let me know I’m over 30 and might lag #swag . Who knew?

Bieber Family!


@scooterbraun: I’m blessed to work with this #family

In the Making of BELIEVE 3D Movie – Miami FL


@justinbieber: And yeah word is out .. We are shooting a movie here in Miami. Need u all live tomorrow again!! #BELIEVEtour #BELIEVE
@scooterbraun: In Miami making a movie with @jonmchuand @justinbieber . #believe








Videos: Justin Bieber Performs at Amway Center, Orlando FL

Justin Bieber performs in concert at Amway Center in Orlando, Florida. on Friday, January 25, 2013.
Justin perform "All Around The World"


Justin perform "Take You"



 

Justin perform "As Long As You Love Me" FULL SHIRTLESS! asdfghjkl




How To Love - Part 20

Re-post 
...:: How To Love ::... 
Part 20

Story by @BieberLSIndo


***


 Dan terimakasihlah, karena sakit hati seseorang bisa banyak belajar arti cinta.

***

2 days Next...

- Justin's POV -

"One peppermint mocha frappucino blended and one toffee nut latte. Any else?"
Selena menggeleng, lalu tersenyum manis pada penjaga meja pesanan kedai kopi favoritnya yang terletak di tengah kota lalu mengangsurkan selembar uang berwarna,
"Thank you" ujarnya lagi.
"Justin?" panggilnya pelan sambil mengambil cup latte milik Justin dan menoleh ke belakang. Ia mengernyit saat mendapati tatapan kosong pemuda itu tengah mengembara entah kemana.
"Justin?!" panggilnya sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras dan ketus.
Justin mengerjap lalu memperhatikan gadis berambut ikal di hadapannya sedang mengulur kopi miliknya sambil mengangkat alis. Pemuda itu tersenyum kecil lalu mengambil cup miliknya.
Selena menghembuskan nafas pelan lalu kembali menoleh ke depan. Ia tersenyum saat menerima uang kembalian sambil mengucap terima kasih lagi. Tak lama ia membalik badan dan menggamit paksa Justin untuk duduk di salah satu pojok kedai.
Justin mengerutkan kening, memeperhatikan Selena yang baru melepas gamitannya untuk menarik bangku. Justin ikut menarik bangku lalu menghempaskan tubuhnya masih dengan dahi mengernyit dalam.
Selena menghela nafas lalu menggigiti sedotannya. Ia memandang Justin lekat-lekat.
"Are you mad at me?" tanyanya cemas.
Justin terkejut sebentar lalu menjawab,
"No... Why?"
"You've been silent all day long, like a human lives without the soul, what are you thinking of?"
Shara. Nama itu tercetus otomatis dari otak Justin tanpa diminta. Memperparah denyutan menyakitkan yang tak mau hilang juga sejak semalam. Denyutan, yang bahkan tak bisa dikalahkan euphorianya. Pula, ‘mantan’ gadisnya itu hari ini tak tampak batang hidungnya. Sama sekali. Bahkan tak ditemukannya di sekitarnya. Hey. Justin tersadar sendiri. Benarkah ia mencari cari gadis ‘tak penting’ itu sepanjang hari ini?
Justin terkesiap, seakan baru sadar seseorang menanti jawabannya,
"Nothing..."
"You.." Selena memandang Justin tajam sambil menjeda perkataanya,
"Are thinking of Shara, aren't you?"
Entah kenapa, Justin sedikit jengkel saat menyadari nada bicara Selena yang seakan menembaknya telak,
"Me and her have been broken up" jawabnya otomatis, entah kenapa sedikit kecewa.
Selena membelalak,
"Since?"
"For two days ago... When we're in London" jawab Justin, sedikit menerawang. Tak lama ia memperhatikan Selena yang terlihat bimbang. Perpaduan antara sedikit senang dan berduka,
"It is not just because of me, isn't it? (Ini bukan karena aku kan?)"
Justin menelan ludah. Karena seharusnya jawaban itu ‘iya’.
Ditelannya profil wajah tirus Selena dengan sengaja. Berusaha memerintah otaknya agar memikirkan gadis di depannya saja. Bukan gadis yang tidak lagi menjadi miliknya itu. Ia menjawab seadanya,
"No.. You said it's like a destiny, right? (Bukan.. Km bilang bukannya ini takdir, benar?"
Entah kenapa, Selena tak bisa menahan dorongan untuk tersenyum diam-diam.

***

- Shara's POV -

Tak dinyana hari-hari yang menggenang, perlahan membawa usaha ekspedisi kecil kehancuran hatinya berkembang menjadi butiran kristal yg mengeram menjadi susunan partikel bersenjang sebuat hati yg baru dan terasa nyata berskala multinasional yang kian berkembang menuai detihan rasa-rasa baru yg menyelinap. Ia juga sudah mulai menata kehidupan yg nyata, kehidupan dimana ia harus belajar menyadari makna dari sebuah silabel yg berbunyi 'Cinta'
Terkadang Shara berharap tak pernah memiliki hati. Dengan begitu ia mungkin tak akan pernah merasakan sakit hati saat seseorang yg ia sayangi meninggalkannya. Justin. Seketika Shara terenyak, ia menjegut segenggam helaian rambutnya dan menubrukkan ujungkepalanya ke meja makan dan tak berhenti merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Benar-benar baru terpikir di otaknya untuk berhenti memikirkan yg sudah amat jelas tidak lagi memperdulikannya, yup Shara harus bisa membenah diri setelah kepergian pemuda itu.
Pagi itu, Wilson menyuap oatmeal-nya lalu memandang ke arah gadis orang lain yang duduk di meja makan yang sama.
“Jadi..” Wilson memulai ceramah rutinnya
“Kamu akan menginap kembali di rumah Justin...”
Shara terkesiap merasakan sesuatu yg besar tengah menyumbat aliran pencernaan makanannya di tenggorokan, dengan sigap ia langsung mengesap air putih dan menepuk ujung bibirnya dengar kain serbet. Shara menghentikan kunyahan pada roti coklat yang sedang dilumat mulutnya seketika. Ia mendengus lalu menelan gumpalan yang masih tertahan.
“Berhentilah, dad, dad sudah mengulang kejadiaan ini jutaan kali. Aku udah gede, kalo daddy ada kerjaan diluar kota, aku bisa hidup dirumah sendiri”
Stefanus mengernyit,
"Ga... Kamu perempuan, lagian disana ada yg bisa hibur kamu kan? Ada Justin dan katanya pula Ryan ada disana jadi bisa main bersama kan?"
Shara mendelik, mengangkat bahu berusaha menyikapinya dengan acuh tak acuh. Sambil berbilang, itu sebuah kenangan, dad. Dalam hati kecilnya.
“Daddy kurang sehat ya? Mau aku sakit lagi?” ucapnya, sengaja mengganti kata gila dengan kurang sehat.
Wilson memandang ke manik mata anak semata wayangnya yang berbinar Bengal
“Daddy ga ngerti apa yg kamu bicarakan, pokonya dan intinya kamu akan tetap tinggal di rumah Justin selama ayah pergi” kata Wilson final sambil menandaskan sarapannya.
Shara hanya mengangkat alis sekilas, lalu menyesap susu coklatnya dan berdiri,
"Aku berangkat dulu Dad"
Wilson melirik jam tangannya.
“Daddy baru sadar. Kenapa siang begini kamu baru berangkat ?”
“Hari ini hanya ada pembahasan materi untuk ulangan akhir caturwulan nanti. Gak penting.”
Wilson mengerutkan kening,
“Bukannya itu penting? Kenapa kamu seenaknya begitu?”
Shara mencibir jahil,
“Karena aku anak Pak Wilson”
“Shara….!” Kata Wilson jengkel.
Shara tertawa kecil, lalu ngeloyor pergi keluar dari ruang makan.

***

Next Week...

- Shara's POV -

"Hhhhh" helaan kata yang Shara ucapkan saat terperangah menatap rumah-rumah yang ia lewati dari balik jendela mobil. Shara melongok ke kanan dan ke kiri saat ayahnya membanting setir ke arah suatu kawasan rumah-rumah mewah yang asri dan tertata.
Tiba-tiba mobil yang dikendarai ayahnya berhenti didepan sebuah pagar hitam yang menjulang tinggi, belum lama mobilnya berhenti didepan gerbang, tiba tiba gerbang itu membuka dengan cepat, secara otomatis. Mobil Shara pun kini melaju lagi dan diparkirkan disebuah halaman rumah yang luas.
Pikiran Shara kini mengawang sepanjang pagi, hingga mobilnya kini sudah mendarat di parkiran rumah Justin.
"Shar? Udah sampe.... Ayo cepat" ucap Ayahnya sambil membuka sabuk pengaman lalu keluar dari dalam mobil.
Shara mengangguk lalu ikut turun dari dalam mobilnya.
Ia mendesah lega lalu memandang ke penjuru rumah Justin. Ia tersenyum miris saat memori-memori lama terpantul dari permukaan dinding dan beberapa angel.
Sesaat Shara merasa ingin membeli mesin waktu dan kembali ke masa itu, lalu buru-buru menggeleng sendiri. Tak sepantasanya ia berimaji muluk lagi. Tidak saat ini. Senyum mirisnya ikut memudar, terganti desah nafas berat gadis itu.
Tiba-tiba sosok Pattie muncul di balik pintu rumah yang besar.
"hey Wilson and Shara, cmon!" ucap Pattie mendekati Shara dan Wilson.
Shara seperti baru di sadarkan dari tidur panjang.
"Hey, Patti, I don't need coming in, I just wakt to pick Shara cause I have to go as soon as possible"
Pattie tersenyum dan bergumam,
"Don't worry Wilson, Shara is my daughter, I will take care of her, you just enjoy your work"
"Thanks Pattie" ujar Wilson sambil menahan jeda,
"Shar... Ayah pergi yah... Jangan nakal, ikuti semua perinta Pattie, oke?"
Shara mengendus malas,
"Dad... I'm not a kid oke?" Ujarnya.
"Oke oke," balas Wilson sambil mengacak poni Shara pelan
"Iya bawel, okey I've to go.. Bye"
"Bye..." Seraya jawaban Shara dan Pattie berbarengan, Shara menatap Pattie yang mulai menuntunnya masuk kedalam sebuah rumah.
Ketika Shara melemparkan pandangannya ke depan, dia berada dalam sebuah rumah besar bertingkat 3 menjulang kokoh di hadapannya. Beranda depan rumah itu sangat luas, ditopang oleh pilar2 besar yang terbuat dari marmer. Begitu pula lantainya. Lampu kristal menggantung
angkuh di langit langit beranda, menyempurnakan segalanya.
Pattie mangantarnya hingga ke depan kamarnya.
"Shar, better you go taking a nap, oh iya, if you need something you can call me then"
ujar Pattie.
"Thank you... Mom" Shara menghembuskan nafas pelan lalu Ia tersenyum saat mengucap terima kasih.
"Anytime, my daughter" Pattie tersenyum miring, lalu membalikan badan pelan, melangkah menjauhi Shara.
Shara menghirup nafas sekali dan mulai memasuki kamar.
Shara berdehem sebentar, lalu memutuskan untuk duduk di tepi ranjang, Shara menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dengan kalut, lalu membanting diri kembali ke tempat tidur dan tak lama ia jatuh tertidur karena kelelahan.

***

Shara tak tahu apa yang dirasanya. Seakan lega dan tersiksa mulai merancu dalam satu makna. Ia membuka mata, meneliti langit-langit lalu menutup matanya lagi. Dengan keadaan terpejam, gadis itu meraih guling di sebelahnya seraya menguap pelan. Tiba-tiba Shara tersadar. Gadis itu terkesiap, Ia mengerutkan kening lalu menguap pelan. Tak lama, ia memutuskan untuk bangkit lalu memperhatikan sekelilingnya dari posisi tidurnya saat mendengar suara berisik pelan.
Ini terasa seperti déjà vu saat ia di villa asing bersama…. Seseorang waktu itu (part 37). Sesaat, Shara terdiam sendiri. Menyadari hati dan otaknya ternyata sudah mau bekerja sama untuk tidak menyinggung nama itu lagi.
Gadis itu menurunkan selimut tebal yang membalut tubuhnya, lalu turun dari queen-size bed super empuk. Ia melangkah takut-takut menuju tirai yang memisahkan bagian tempat tidur dengan ruang tamu kamar.
Shara menggembungkan pipi, terhenti ragu di depan tirai saat melihat bagian belakang kepala dan sebagian punggung tegap Ryan menyembul dari balik sofa yang membelakanginya. Ia menghembuskan nafas, menghitung mundur entah untuk apa dalam hati lalu menyibak tirai dengan segenap keberanian yang sudah dikumpulkan.
"Mmm.. Ryan?" sapanya pelan.
Ryan yang tengah menyimpan cangkir menoleh ke balik sofa, tersenyum cerah pada Shara.
"Hai.. Shar, emm.. Sorry.." katanya sambil mengedikkan kepala ke arah sofa terpisah di dekatnya lalu menoleh ke depan lagi.
Shara berjalan memutar, lalu duduk di sofa yang tadi ditunjuk Ryan. Ia menghela nafas sebentar lalu menunduk malu.
"Sleep tight?" Tanya Ryan.
Shara mengangkat wajah, menyusupkan jumputan rambut yang menutupi wajah ke belakang telinganya lalu mengangguk pelan.
"Sorry... I just bring your dinner, Pattie is asked me.. I didn't do anything" pemuda tampan itu tersenyum pelan.
Shara terperangah sesaat, Ia mendesah pelan.
"Sorry, I'm sorry to bother you" katanya sambil memberi senyum ragu pada Ryan.
"Hem.. Ya ya, you always say 'sorry'" ucap Ryan sambil tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
"Do you feel better or it still hurts you?"
Shara hanya menunduk, tidak tahu mau menjawab apa. Ia malah berkata
"No... Thanks..." Jawab Shara sambil menggeleng kecil.
Lagi-lagi Ryan tersenyum tipis dengan sejuta arti tersembunyi. Ia mengangkat bahu, seakan tak acuh,
“Never Mind. I will always wait until you recover injuries, for (gpp, Saya akan selalu menunggu sampai luka kamu pulih kok. Bahkan)” Ryan memandang gadis di hadapannya pelan,
"For ten years..."
Shara tertegun tidak mengerti apa maksudnya.
Ryan tertawa,
"Shar, would you mind teaching me Indonesia Language?" erang Ryan sambil menarik ujung alisnya,
Shara terkentuk lalu memutar bola mata. Akhirnya, Shara tersenyum tipis pada Ryan sambil terus memperhatikan Ryan tanpa sadar hingga gadis ceriwis itu balas memandang Shara sambil tersenyum malu.
"Oke, let's see" Shara hanya tersenyum.

***

- Justin's POV -

Justin berdeham sekilas, berusaha membersihkan tenggorokannya yang terasa kering lalu menapak panjang menuruni tangga dan melangkah pelan menuju dapur, berniat mencari sesuatu untuk diminum.
Begitu memasuki ambang pintu, ia menelaah tempat yang ditujunya sekilas. Sepi. Pemuda itu mendesah. Kenapa sejak kemarin malam perasaannya begini aneh ? Ia melangkah ke arah lemari pendingin, membukanya lalu mencari-cari dan akhirnya memutuskan mengambil sekaleng susu putih dari sana.
Ia terhenyak sesaat, memandangi figur beruang putih yang menjadi ikon merek minuman yang baru diambilnya. Ia mencibir. Beruang putih di gambar itu jelek sekali, jelas tidak serupawan boneka beruang raksasa yang pernah dibelinya dulu. Untuk gadis itu. (Part 37)
Argh. Justin membanting pintu lemari pendingin dengan kesal, lalu mengetuk-ngetuk dahinya tidak sabaran. Kenapa otaknya tidak bisa berpikir jauh jauh dari sana coba?
Pemuda itu membuka tutup kaleng lalu menyesapnya tepat saat dua orang berjalan beriringan dari luar pintu, berceloteh tak henti, sepertinya tak melihat penampakan Justin disana.
"Yeah thanks, Shara will stay for long times, may be..."
"She has gone upstairs then.."
Justin mendelik ketika dua orang itu membicarakan Shara ada di sini. Ia mendengus kesal entah kenapa lalu keluar dari dapur sambil mereguk isi kaleng susunya. Apa-apaan maksudnya itu ?
Pemuda itu menaiki tangga lagi menuju lantai empat, lalu melangkah pelan kearah sebuah kamar yang ternyata tak tertutup rapat. Baru saja akan mendorong pintu, Justin terdiam di tempat. Sesuatu memakunya untuk memasang telinga. Ternyata ocehan orang di bawah tadi tidak salah. Mau tak mau, jantung Justin mulai berdetak lebih cepat. Begitu tiba-tiba, Angin membawa sesuatu dalam alirannya, sebuah suara yang dulu ada pada nostalgia, yang tak pernah didengarnya setelah cukup lama. Tawa Shara.
“You're wronggg hahaha this, listen. Ibu pergi ke pasar”
Suara lembut itu disambut oleh suara lain. “Ha? Aibiu pier... Ah! Difficult”
“Hmmmpf Ryannnn it's easy, so I win, don't I?!!”
Terdengar jeda waktu cukup lama, hingga akhirnya suara kedua tadi menjawab dengan nada jahil,
“Ammm okee.. Don't know but.. I think my score is bigger than you”
“Huuuuu... This.. Look at this?”
“Oke oke I will try again...” setelah itu suara sang pemuda terdengar ikut tertawa.
Justin mencengkram kaleng susu yang kini kosong di tangannya. Lamat-lamat ia bisa mendengar jantungnya melagukan denyutan yang sama. Mungkin karena menyadari kenyataan. Bahwa belakangan ini memang tak pernah dibuatnya gadis itu tertawa lagi.
Justin mendorong pintu tanpa berpikir lagi,
“Ryan,” panggilnya keras. Ia memperhatikan Ryan yang tengah menyesap isi sebuah cangkir keramik lalu beralih pada Shara yang sedang memeluk bantal. Entah kenapa Justin merasa mencelos ketika mendapati senyum lucu gadis itu pupus perlahan ketika melihatnya masuk.
Namun di sisi lain, untuk satu alasan. Tanpa senyuman, Shara kini berani menantang mata Justin. Mungkin karena gadis itu yang mengambil keputusan utnuk mengakhiri hubungan terlebih dulu, ia bisa merasa sedikit di atas awan.
Lagipula, telah dimatikannya sisi hati untuk Justin. Gelap. Bahkan kenangan padanya sudah berangsur lenyap.
Tak lama, Shara mengalihkan pandangan ke arah Ryan lagi,
“I think I wanna go to down” ia tersenyum sesaat,
Gadis itu menghela nafas panjang lalu berdiri dan melangkah menuju pintu tempat Justin berdiri tanpa peduli. Seakan pemuda itu tak ada disana.
Sementara Justin terdiam saat bumerang itu seakan kembali menyerangnya. Gadis itu melangkah ke arahnya tanpa ekspresi lalu melewati tubuhnya dengan kata,
“Excuses me,” yang terdengar tak berarti.
Shara baru saja akan berjalan melewati Justin, saat tiba-tiba pemuda itu menahan tangannya, menyentaknya hingga berbalik menatapi wajah tampan itu.
"So I heard you found someone else,but that still cant erase all the time we shared together..." ujar Justin sambil mendelik ke arah Shara yg menunduk.
Dan Shara menahan nafas saat memperhatikan Justin menatapnya begitu lekat dengan pandangan tak terbaca.
"Does he make you laugh like I did?" Ujar Justin lagi sambil melirik dengan ekor matanya ke sudut arah Ryan yg tengah menonton ke arah mereka.
Shara menghela nafas, menatap pemuda itu marah,
"He doesn't make me cry like you did"
Gadis itu menarik lengannya dari penjara telapak Justin dengan kasar, lalu membuang pandangan ke arah lantai di sisinya, mencari ketenangan di antara keramik marmer yg ditatapnya. Emosi menyulut manik matanya hingga Shara terperangah.
"I know we're broken up, but that don't mean anyone else can have you..." Ujar Justin yg lantas tak lama Justin lepas dan kembali memaksanya untuk menyentak pergelangan tangan Shara.
Lagi lagi sentuhan pelan pada lengan Shara dari belakang, menyentak dan membuat Shara tersadar bahwa ucapan itu bukan fantasi ataupun halusinasi. Gadis itu, mau tak mau, akhirnya memutuskan memutar tubuhnya kembali, menghadap Justin yang memang berdiri disana.
"You... have made me fell, you have made me cried...you who lied... you had my trust you had my love you had my heart and you have broken it, Maybe you've broken my heart, broken into a million pieces... is not it ENOUGH for you?!" sergah gadis itu, menampik telapak Justin. Walau tanpa sadar, ternyata masih ada juga sedikit sentilan harap dalam relung Justin. Melupakan seketika semua pikiran pahit yang meracuni benaknya selama ini, rasa sayangnya pada pemuda ini faktanya memang terlalu besar. Hingga ia sendiri tahu bahwa ia akan langsung melupakan semua kesalahan Justin sebenarnya jika pemuda dihadapannya bisa mempertahankannya.
Gadis itu menghela nafasnya yang tak beraturan, lalu memutuskan berbalik, perlahan melangkah menuju tangga. Masih dengan jutaan pertanyaan dan pernyataan, terutama dari masa lalu, yang tak henti mengiringi.
Di sisi lain Justin tersentak, ia mengepalkan tangan kuat-kuat di tempat, saat mendapati menjauhnya punggung Shara, yang masih juga menggoda, seakan memanggil Justin untuk mendekapnya. Ia sendiri tak tahu kenapa ia diam saja. Tak membalas, tak menyanggah, tak melakukan apa-apa. Padahal ia menyadari banyak hal bergolak dan melecut-lecut dalam jantungnya.
Lantas pula, Shara meninggalkan jejak harum adiksinya yang teramat kental pada udara, membuat Justin tercekat hingga tak mampu menahan dorongan untuk membiarkan matanya mengikuti langkah menjauh gadis itu. Mungkin Justin tahu mengapa denyutan itu terasa menyakitkan.
Karena kini, ia menyadari ia tak lagi punya wewenang, bahkan untuk sekadar berdiri di depan Shara tanpa berbuat apa-apa, seperti yang dulu pernah dilakukannya saat ia menganggap gadis itu tidak berharga.


***

How To Love - Part 19

Re-post 
...:: How To Love ::... 
Part 19

Story by @BieberLSIndo


***


 "Part of me wishes that i could forget you too. Forget meeting you, finding what you are and everything that has happened. Because i don't want it to be like this. I don't want to feel like this. But i can't. With everything that has happened, i can't loose the way i feel about you." - Elena Gilbert, The Vampire Diaries.

***

The day after.

Pagi itu, Shara masih melayang di tepian danau mimpi semunya saat tiba-tiba terdengar gedoran keras di pintu kamarnya. Gadis itu tersentak, mengerjap cepat lalu melirik ke arah weker dan tanggalan di sebelah tempat tidurnya. Jam setengah tujuh, hari sabtu. Shara mengucek mata sambil menelan ludah. Shara bangkit dan berjalan panik, mencari lalu menyampirkan handuk pada pundaknya dan membuka pintu yang masih di gedor. Ia tersenyum meminta maaf pada ayahnya yang tengah berkacak pinggang.
"Shar? You haven't taken a bath, have you? Oh Shara!! Cmon we have to go" seru lelaki itu sambil mendelik.
"Sorry hehe" kata Shara sambil mengatupkan kedua tangan.
"Aku mandi sebentar boleh ya,dad?"
Wilson menggeleng-geleng,
"Ini sudah jam berapa ? Mandi lima menit." katanya tegas.
"Tujuh menit ya, dad" tawar Shara sambil mengacungkan tujuh jarinya, lalu langsung menuntup pintu kamar hotelnya dan berlari kabur ke kamar mandi, mengacuhkan ayahnya yang berteriak-teriak
"Tujuh menit. GA LEBIH !"
Akhirnya gadis itu berbilas super kilat, lalu berbenah diri dan buru-buru menuju lobby hotel untuk bertemu yang lain.
Setelah pintu lift terbuka Shara mengangkat wajah, dan pada saat itu pula Shara terpaksa berhenti mendadak karena tiba-tiba seseorang berhenti tepat di depan wajahnya. Tak lama orang itu terbang mengambang ke samping, menunjukan wajah tampan seorang pemuda. Justin.
Shara terperangah.
Justin memandangi gadis di hadapannya, lalu tanpa tedeng aling-aling menarik tangan Shara agar mengikutinya ke halaman depan.
Shara memandangi telapaknya yang digenggam jemari besar Justin, kehangatan itu mengusiknya. Lalu gadis itu bergerak memperhatikan tubuh pemuda yang dibalut kaus putih super polos dipadu celana jeans selutut. Terlalu santai untuk ukuran Justin Drew Bieber.
"Justin," katanya tertahan, berdiri diam di satu titik hingga Justin tersentak dan berbalik badan
"Where are you going?" Tanyanya.
Pemuda itu mengernyit,
"Hang out"
"But... My dad?" ucap Shara tertahan.
"I have told him," jawab Justi.
"But Sel.." sahut gadis itu pelan.
Justin mengernyit lagi,
"Don't ask too much, just go" ujar Justin tersenyum meremehkan.
Shara mengangkat bahu, Gadis itu menghembuskan nafas, merasa sedikit ganjil ketika menyadari betapa rindunya ia pada saat-saat seperti ini, masa-masa perdebatan lidah dengan pemuda ini, seperti sebelum segala hal memusingkan menyangkut hati terjadi. Ironisnya, kenapa saat-saat ini harus berulang saat Shara telah memantapkan keputusannya lagi bahwa ... Ah, gadis itu tersadar sendiri. Ia melepas dari genggaman Justin.
"Oke" ujar Shara berusaha tersenyum.
Justin tersentak sekilas ketika Shara melepas cengkraman tangannya. Senyum gadis itu dan panggilannya yang dulu, membangkitkan perasaan Justin akan sesuatu. Sesuatu yang membuat lidahnya kelu. Tapi tidak boleh. Ada alasan tersembunyi mengapa Justin rela menemani Shara sepagi ini.
Kemarin, terjadi konfrontasi kecil antaranya dengan Selena. Gadis berwajah tirus itu hampir menangis karena menuduhnya menyembunyikan sesuatan. Isakan Selena membuatnya ditampar janjinya sendiri bahwa gadis itu takkan menangis di hadapannya lagi, membuatnya bingung, membuatnya membutuhkan zat adiksi itu dalam kadar tinggi untuk mempertahankan kewarasannya agar cukup untuk menghadapi Selena lagi. Dan karena itulah ia mencari Shara, tak lain karena kebutuhan yang harus dipenuhinya. Kembali, untuk Selena.

***

Mencoba tuk pahami
Mencari celah hatimu
Bila harus menangis
Aku kan menangis
Namun air mata
Kini telah habis

***

Justin menarik nafas, menyalakan starter mobil lalu tak lama menggerakkan setir. Sesungguhnya, ia mati gaya. Tak tahu harus berbuat apa. Banyak hal tiba-tiba mengaduk benaknya saat ini juga. Sambar-menyambar. Shara. Selena. Shara. Selena.
Justin tercekat lagi saat menyadari satu hal.
Pemuda itu mencoba memutuskan dengan menyelami dasar otaknya, lupa bahwa jairngan itu tenagh dikacaukan euphoria. Yang takkan dikalahkan apapun, karena ini waktu puncaknya ia Berjaya. Justin tak mengerti bahwa hal yang begitu kilat datang, secepat itu pula akan menghilang.
Maka, ia menjawabi keresahannya sendiri dengan logika. Tanpa bertanya pada organ kecil lain yang berwenang dan sesungguhnya lebih dapat dipercaya. Ditampiknya rasa bersalah yang menyelinap dengan kegilaan yang sama. Maka antara Selena dan Shara. Tak ada sedikitpun suara untuk nama gadis kedua tadi di benaknya.
Penantian dan ikrarnya tempo hari, lantas segala euphoria gila ini, membuatnya tak mampu mengenyahkan segala ingatan tentang Selena. Seakan kini, jika tak memikirkan gadis kecilnya itu sedetik saja, ia lebih baik bunuh diri.
Untuk membunuh kebisuan waktu, pemuda itu memutuskan menyalakan radio. Berharap sayupan intro lagu bisa memendam otaknya yang sedang riuh.
Justin mencuri pandang kearah Shara lewat sudut matanya, memperhatikan gadis itu menghela nafas panjang kelewat lelah sambil memainkan ujung roknya gelisah. Sesaat, sesaat saja ada deburan kecil dalam dadanya. Monster masa lalu, teman seperjuangannya saat berusaha menggapai gadis ini sempat menggeliat, lalu dipaksanya untuk mati suri lagi.
Dengan sikap seenaknya, Justin seakan baru menyadari. Mungkin benar bahwa sudah terlalu banyak pengorbanannya untuk Shara. Terlalu lama waktu yang disia-siakannya utnuk gadis ini, yang andai saja dapat dimintanya lagi lalu diberikannya untuk Selena.
Justin tak sadar, bahwa sikap egois dan sok tahunya pada diri sendiri itu terlampau menyakiti. Bagi sang gadis destinasi yang bahkan sesungguhnya tak mendengar racauan otak pemuda itu tadi.
Sementara Shara sedari tadi menghitungi berapa banyak mobil disepanjang jalan itu. Ia bingung sendiri mau berbuat apa. Juga tak mengerti. Setelah itu, Shara memutuskan menekan punggung tangan kanannya dengan telunjuk kiri, ingin memastikan apa telunjuknya lalu akan menembus udara atau tidak. Entah untuk keberapa juta kali, ia menghela nafas. Shara bahkan tak berani sekadar melirik pemuda di sebelahnya. Ia takut mendapati penolakan terpancar di mata Justin dan dirinya pun merapuh lagi.
Ini bukan apa-apa kan, Shara? batinnya mencoba menguatkan diri sendiri dengan rapalan mantra munafiknya yang biasa. Bukankah kamu sudah berkata asal dia di sisimu saja tak apa ? Bahkan walau hanya sepotong raga, tanpa jiwa, tanpa cinta.
Shara tak sadar dirinya mulai gila, karena ia bergegas menjawabi pertanyaan internal hatinya sendiri. Iya. Bukan. Apa. Apa.
Entah sayatan macam apa yang akan membuka dan menggarami lukanya lagi nanti. Gadis itu tak berapa peduli. Pikirnya, yang penting Justin disini, dalam interval beberapa inci. Walau Shara menyadari bahwa pemuda itu telah membentang jarak sejauh matahari. Jarak yang sengaja direka Justin agar gadis itu tak bisa mencapainya lagi. Tapi Shara berjanji takkan menyerah hingga kesudahannya tiba. Angin telah membisiki telinganya bahwa kiamat yang dikiranya ini bukan kiamat. Hari-hari ini baru permulaan, yang akan menguras hatinya sedemikian rupa hingga ia tak mampu lagi mengeluarkan air mata.
Shara menghentikan pikirannya saat merasakan mobil Justin tak lagi menderu. Ia mengangkat wajah lalu terhenyak saat melihat dimana Justin baru saja berhenti. Tower Bridge London.
Justin sudah memarkirkan kendaraan kesayangannya di lapak parkir vallet. Mereka akan berkeliling tanpa kendaraan, mereka akan mengintari indahnya Tower Bridge dengan berjalan kaki.
Shara menoleh ke arah Justin.
"Calm down... I have this!" ujar Justin lalu memakaikan topi hitam hoodie dan tak lupa kacamata yg setia menemaninya kemanapun dia pergi.
Shara hanya mengangguk lalu turun dari mobil dan berjalan berdampingan dengan Justin menelusuri salah satu pusat wisata di London.
Tangan Justin meraih tangan Shara, dengan lembut dia terus memegang jemari Shara sepanjang perjalanan. Shara terenyak, ia memandangi tangannya yg berpautan dengan tangan Justin. Memejam mata sambil menancapkan juru doa di dalam hatinya. Jika ini untuk terakhir kali, biarkan, biarkan dia melangkah bersamaku...

***

Tak larut Sebuah struktur dan situs yang paling mengesankan di ibukota, Tower Bridge di London yg berdiri di atas Sungai Thames sejak 1894 dan merupakan salah satu landmark yang paling dikenal di dunia.
Justin menjelaskan sedetail-detailnya sejarah tentang tempat wisata yg sedang mereka pijak, setelah seluruh Tower Bridge sudah dijajaki selesai Justin menutup susunan sejarah yg ia kuasa dengan memandang Shara dengan wajah bangga, membuat gadis itu tak mampu menahan senyum gelinya.
"Why are smiling?" tanya Justin sedikit tersinggung.
Shara menggeleng sambil menahan senyum lalu melirik jam ditangannya,
"Justin, may we go home now?"
"Hem?" tanya Justin bingung.
Shara tersenyum tipis. Menyiapkan diri, jawabnya sendiri dalam hati. Ia menatap Justin sekilas lalu mengangguk mendahului pemuda itu.
"Shara!" seru Justin tertahan, membuat Shara menoleh lagi dan bertanya,
"Why?"
"Wait me..." kata Justin, menyusul dan berdiri di depan Shara lalu mencengkram lengan gadis itu erat-erat.
Shara mendesah, lagi-lagi. Tapi entah kenapa gadis itu tak menampik genggaman Justin kali ini. Mungkin karena toh ia tahu waktu itu kian mendekat. Biarlah ia merasakan debaran liar ini untuk terakhir kali.
Justin kini berjalan di depan Shara. Setelah keluar dari area Tower, Justin sigap membawa Shara kemobilnya yg tak terlampau jauh dari pintu keluar. Justin melepas tangan Shara lalu mendorong gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya, diikuti dirinya.
Setelah mobil sudah berada di tengah jalanan yg mulai dirayap oleh beberapa mobil lain, seperti biasa Tak ada suara ketika mobil berjalan selain lagu yg mengalun sayup dari radio mobil. Lalu entah siapa yang memulai, mungkin karena suasana yang terbawa, mata Justin dan Shara bertumbukan di saat yang sama. Angin alam yang berhembus dari jendela kaca buram membawa harum Aigner dan kayu manis itu untuk saling bertukar.
Shara menunduk jengah lalu tak lama mengangkat wajah saat melihat tangan Justin menggenggam jemarinya. Sesaat, Shara merasa kisah ini begitu sederhana. Hanya ada dia, Justin dan waktu yan seakan tak pernah berlalu.
Seandainya Shara bisa menghentikan semua disini. Ada rasa damai yang menyelinap saat gadis itu melihat Justin memejamkan mata, sambil merengkuh jemarinya mendekati jantung pemuda itu sendiri.
Shara tahu bahwa waktu, nyatanya takkan bisa dikristalkan. Ia mendesah lalu menggenggam tangan Justin erat-erat pula. Tahu bahwa semua ini akan berakhir sebentar lagi.
Mereka sedang mengawang sejenak, dan saat mereka kembali pada dunia bernama realitas, takkan ada lagi mimpi-mimpi ini.
Shara tersenyum tipis, dalam usaha menahan tangis yang hampir kabur dari sudut matanya. Ia menghela nafas, tak bisa menahan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu Justin. Dan merasa, bahwa kadang membohongi diri untuk terakhir kali, takkan ada salahnya.

***

Segalanya telah kuberikan
Tapi kau tak pernah ada pengertian
Mungkin kita harus jalani
Cinta memang cukup sampai disini

***

"Cheating MUCH?!" (CUKUP selingkuhnya ?!)
Seruan emosional itu menyembur dari sebuah suara renyah, tepat ketika Justin dan Shara bergerak memasuki hotel melalui lobby sambil tertawa berdua karena mengingat tingkah laku pemuda itu di Tower Bridge tadi.
Justin terkesiap, sekejap melepas genggaman jarinya yg menyatu dijari Shara,
"Sel?" pemuda itu tergeragap. Ia bergegas menghampiri tubuh Selena yang bergetar penuh kemarahan. Pemuda itu terkejut ketika gadis itu menampiknya.
"Don't touch!" seru Justin menjauhi lengan Justin, menahan air mata yang mulai menggelegak dari pelupuknya.
"Sel.. Please listen to me" ujar Justin pelan, berusaha meraih gadis itu.
"You said" ucap Selena sambil berjalan mundur dan menuding Justin,
"You said you didn't want to make me crying again, did you huh? But now? You're with her... (kamu ga mau bikin aku nangis di depan kamu lagi ! Tapi sekarang ?! Malah kamu sama dia ...)" gadis itu ganti menuding Shara yang diam mematung.
"And you!" kata Selena kalap sambil berjalan mendekati rival Shara dan menunjuk gadis tak bersalah itu dengan telunjuknya,
"i said. STAY. AWAY. FROM. HIM ! Isn't CLEAR MUCH ? Don't you know i need him ? More than you do !" gadis itu memainkan dinamika nada ucapannya dengan baik, menekan pada kata kata tertelak, kali ini ia mendesis.
"And this is called fate .. Something that can't be avoided. I belong for him. And vice versa. So, let him go ! CAN'T YOU ?! (Dan inilah takdir .. Sesuatu yang ga bisa dihindari. Aku milik dia, dan sebaliknya. Lepasin dia ! GA BISA ?!)" kecemburuan buta membuat Selena seakan akan dengan pongah mendahului nasib.
"Sel .." Justin merengkuh bahu Shara yang berguncang dari belakang, memeluk gadis itu demikian erat untuk meredakan emosinya. Ia tak menyangka gadis itu akan semeledak ini. Justin tak tega melihatnya.
"Justin" panggilnya pelan, menenangkan "Sorry. But.. She is nothing for me (Maaf. Tapi .. dia bukan siapa-siapa)" Justin menatap Shara sekilas, seakan karena kesalahan gadis itu lah Selena-nya menangis lagi, euphoria kecemasan membutakan ingatannya pada tawa yang padahal baru saja terpeta tak lama ini.
"She is nothing for me (Dia bukan siapa-siapa)" ulang pemuda itu
"She is just..." sepah yang harus lekas dibuang setelah zat adiksinya sudah cukup memulihkan kewarasan Justin lagi.
Pemuda itu memandang Shara tajam, memuntahkan kata katanya,
"just past that after this, would no longer worth (cuma masa lalu yang setelah ini, takkan lagi berharga)"
Shara terhenyak, merasakan kenangan mulai menguburnya dalam kepahitan tak tertanggungkan. Setitik air mata merembes tanggulnya, karena sesak itu tak mampu lagi ditampung rongga dadanya. Shara mengerti setelah ini, setiap tarikan nafas adalah satu tarikan nafas lagi mendekati kematian. Kematian hati. Dan ia tak peduli. Karena inilah. Akhir dari segala akhir.

***

Mencoba tuk rasuki
Menyentuh palung jiwamu
Bila harus mengiba
Aku kan mengiba
Namun rasa ini
Telah sampai diujung lelahku...

***

Inilah. Akhir. Cerita. Cinta.

Sesungguhnya, Shara tak seberapa terganggu dengan tragedi siang tadi. Karena itu yang diam diam ia tunggu. Pelatuk fatal yang harus ditarik agar keputusannya semakin siap dipentalkan.
Shara sudah tahu bahwa segalanya memang serupa bom waktu. Yang sudah terpicu sejak awal malam itu. Dan saat-saat singkat bersama Justin hanya sela dalam detik sampah yang dipulung tak rela untuknya. Lalu siang tadi sampailah sulutan itu pada utasan terakhir sang sumbu. Yang lantas meledak dan menghancurkan segalanya menjadi abu, termasuk sampah itu.
Pintu jati ini, lagi-lagi terdaulat menjadi saksi. Atas segala yang telah dan akan terjadi. Terkenang di benak Shara pelatuk yang dilepas Justin pagi tadi. Dan disinilah ia untuk mengamini ucapan itu. Masa lalu tidak berharga ini harus terputus, agar pemuda itu bisa berjalan terus.
Shara memasuki kamar Justin tanpa mengetuk. Apapun yang terjadi, ia sudah tak mau lagi peduli. Karena telah diterimanya cacian yang paling menyakitkan hati. Cacian penolakan yang tak sanggup lagi mementahkan keputusannya kali ini.
Shara memegangi jantungnya sendiri. Sesuai janjinya pada Ryan, tak boleh ada lagi air mata yang terkuras sehabis ini.
Dan hati mengenal kepedihannya sendiri, yang tak bisa dipungkiri penampikan. Kepedihan menguliti hati Shara hingga berdarah, ketika mendapati punggung pemuda itu tengah berada di balkon, memunggungi pintu kaca yang terbuka dimana didekatnya Shara berdiri.
Dan disinilah Shara, dengan setiap inci keteguhan hati. Yang kali ini takkan dibiarkannya tergoyahkan apapun lagi.
Begitu banyak yang ditahan dalam ujung lidahnya. Semua kenangan, kenyataan bahkan angan yang belum sempat terpetakan. Segala perjuangan teramat panjang yang ternyata sebegitu singkat dipertahankan. Semuanya tersumbat dalam pangkal tenggorok gadis itu.
Shara melangkah pelan memasuki ambang pintu, membiarkan derapnya tak terdengar. Gadis itu terdiam, merenungi tiap waktu yang tersisa seakan ini akhir hidupnya, membiarkan potongan siluet tegap itu menyihirnya, siluet yang membuatnya terperosok lebih dalam lagi.
Beberapa menit yang terlewat tanpa sedikitpun suara mulai terasa mencekam. Hingga akhirnya suara sedingin laut baltik itu terdengar,
"Looking at me?"
Pertanyaan itu menyentak Shara, menyadarkan Shara bahwa sesungguhnya pemuda itu tahu ia disana. Dan cara panggilan siluet itu untuknya kali ini, membuat gadis itu mengerti pula bahwa ia memang bukan siapa-siapa lagi.
Shara menunduk lalu mengulum bibir, tiba-tiba tak tahu bagaimana memulai penghabisan ini karena lidahnya kelu. Lantas lagi-lagi disiakannya waktu yang terus berlalu.
"How long will you stand there?"
Shara mengangkat wajah tepat ke ketika mendapati Justin menengok sekilas ke arahnya lewat balik bahu. Bola mata pencair tembaga itu mengeras, lalu tak lama pemuda itu membuang pandangan ke depan lagi.
Shara menggigit bibir, memainkan jarinya lalu menghela nafas panjang sebelum melantun balasan.
"Just a minutes...," jawab gadis itu telak, membuat Justin diam-diam tersentak.
Tiga ujaran penghambat keputusan Shara kala itu. Dua belas silabel yang kini terasa hampa. Karena gadis itu menyadari bahwa 'sebentar' pun hanya kata. Kerancuan makna bisa membuatnya berarti, berlaku dan berakhir kapan saja. Mungkin esok hari, sepuluh tahun lagi atau bagi Shara, bermakna kini. Detik berarti yang terus menetes dan tergenang mati.
Ini apa yang sebenarnya ingin ia katakan di taman tempo hari.
"You know what? Recipients said it was understood to what extent its power to survive. Three words that had made him numb. And he could no longer understand what its purpose (Kamu tahu ? Penerima kata itu sudah mengerti sampai batas mana kekuatannya untuk bertahan. Tiga kata itu sudah membuatnya mati rasa. Dan tak bisa lagi ia mengerti apa tujuannya)"
Shara menghela nafas panjang. Karena ia tahu setelah ini setiap tarikan nafas dan kata akan terasa menyiksa. Diiringi keperihan dalam torehan yang memeluknya hingga ke tulang. Dengan ulu hati tertekan butiran kristal yang coba ia tahan, gadis itu berdeklamasi melanjutkan.
"The past can't be erased, but It's not about the memories that come with the past that need to be forgotten and... That's us (Masa lalu mungkin memang tidak bisa dihilangkan, tapi paling tidak .. ada titik dimana ia bisa dilupakan dan tak lagi perlu untuk dikenang. Lalu ... begitulah kita)"
Shara menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Karena sungguhpun, tiap goresan kata membuka lagi lembaran peristiwa yang pernah berlangsung di antara mereka.

Disneyland. Hujan. Kenangan.

Atas gedung. Lantunan lagu. Pernyataan pemuda itu.

Makan malam. Sebuah tarian. Suatu perayaan Anniversary di Paris.

Namun entah kenapa segalanya menjadi begitu asing. Seakan ingatan milik orang lain dijejalkan paksa dalam batok kepalanya. Bahkan tawa yang sempat terlagu pagi tadi terasa bergaung begitu jauh dari dasar hati.
Lantas, klimaks penolakan itu bergema pula. Terpantul teramat kentara dari sel-sel otak Shara. Menyesah jantungnya yang sudah mulai bernanah.
Shara menarik nafas, lalu memandang ke arah langit hitam. Seolah mencari ketenangan dari angkasa kekelaman. Seolah kidung perpisahan sudah dapat didengarnya bersenandung mengoyak langit malam, gadis itu berkata lagi.
"it imma leave everything in the past choices, mistakes, and mainly relationships if we broke up that's how its going to stay"
Shara mengejang, lalu melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang punggung Justin, ia mendendangkan kata penghabisannya. Lirih,
"And than... Thank you for how you comforted me when I was totally down... Thank you for times of you who made everything perfect for me... Thank you for putting a smile on my face... Thank you for the broken heart... Thankyou for everything... Cos after this, nothing will be reminded and thankyou cos you have ever been mine Maka terimakasih untuk segalanya. Karena setelah ini takkan ada lagi ingatan yang harus dikenang, terimakasih ... Karena kamu sudah pernah ada."
Dengan segenap keberanian yang tertinggal, Shara menyusupkan kedua lengannya untuk memeluk tubuh Justin dari belakang dan membenamkan wajahnya disana. Membiarkan harum pemuda itu mencekat nafasnya untuk terakhir kali.
Bahkan udara tak diizinkannya mengisi sela kosong yang tersisa.
Shara tak ingin detak ini berakhir. Namun, pelukan itu ternyata terlalu menyesakkan. Sedingin pelukan kematian. Pelukan yang menjejal kenyataan bahwa mereka harus berpisah jalan. Dan bahwa takkan ada lagi alasan pembantahan.
Shara menggigit bibir, melepas kungkungan lengannya lalu berlari pergi.
Gadis itu menutup pintu ruang eksekusi hatinya dengan keras, lalu berusaha menarik udara dengan nafas tersengal. Tangis yang ia tahan mati-matian ternyata menekan jantungnya yang menyesak.
Shara mulai berjalan tersaruk, seperti orang yang mengidap gangguan pernafasan saat didengarnya sebuah suara menyejukkan.
"Shara?"
Gadis itu menoleh melihat Ryan berdiri di dekatnya dengan tatapan penuh kecemasan. Seakan tahu apa yang baru terjadi, ia bertanya pelan,
"Broke up?"
Shara mengulum lidah, lalu berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk busur senyum yang dipaksakan dan mengangguk.
Lalu tiba-tiba, seakan tahu inilah pemuda yang telah menyiapkan bahu untuknya, sebutir air mata menuruni pipi Shara.
"Don't..." gadis itu bergegas menghapus tetesan yang muncul seenaknya tadi, tanpa sadar bahwa gerakannya membuat kawanan air tadi tak mampu ditahan lebih lama lagi.
"Enough..." Ryan menarik Shara ke dalam dekapannya lagi. Membiarkan udara membawa senandung kesedihan gadis itu yang rela didengarnya untuk kesekian kali.
Shara akhirnya meluruh dalam rengkuhan itu, membiarkan tangis mengalirkan semua kesesakan keluar dari pembuluh darahnya. Membiarkan harum lain ini mengembalikan nafas dan mencuci bersih ingatannya.
"So-so-sorry." ujar Shara di sela isakan.
"It's the last for Justin..."
Shar tak tahu kenapa matanya berkunang, atau apakah Ryan betul betul mencium puncak kepalanya. Karena setelah itu pening hebat datang. Dan segalanya menghilang.

***

Sementara, Justin sendiri tak tahu mengapa tubuhnya terpaku sedari tadi. Mungkin ikrar yang pernah dilontarkan lidahnya pada Selena, membuat organ yang sama tergembok hingga ia tak dapat mengucap satu pun kata.
Lalu tak lama angin berhembus. Membawa sisa harum kayu manis itu melayang di udara lalu menyapa penciuman pemuda yang sama. Justin terkesiap ketika kesadaran meluluhlantakkannya.

Shara. Yang sudah bukan miliknya.

Justin tak tahu. Kenapa setelah itu ada bagian hatinya yang terasa berdenyut-denyut menyakitkan. Seolah kehilangan.

***

Segalanya telah kuberikan
Tapi kau tak pernah ada pengertian
Mungkin kita harus jalani
Cinta memang cukup sampai disini


***

How To Love - Part 18

Re-post 
...:: How To Love ::... 
Part 18

Story by @BieberLSIndo


***


Telah lama aku bertahan
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun ku rasa cukup ku menunggu
Semua rasa tlah hilang

***

- Ryan's POV -

Ryan menekan 'lock key' pada mercedes-benz remotenya lalu berjalan menelusuri pelataran parkir Hyde Park yang tersambung ke sebuah taman sambil terus berbicara dengan ponsel di telinganya.
"Nope. Not a problem. Just still a lil' bit shocking" tanyanya lagi sambil mengernyit.
Ryan terus melangkah.
"Hmm. Ok, then. I'll wait for that super-important 'till you touch down here. You'll arrive within three days, just..."
Pemuda itu menghentikan langkahnya seketika saat menjejak ke arah taman. Entah untuk alasan apa, ia mematung sewaktu melihat dua orang yang sedang berperan dalam lakon tak jelas di hadapannya.
Ryan tersentak saat suara di ujung ponsel menyalak memanggilnya, ia segera menyahut,
"J-just.. fine. We'll talk again soon, Bye." kata pemuda itu lalu menekan tombol merah untuk memutus sambungan.
Demi Tuhan, apa yang sedang terjadi sebenarnya? Ryan tanpa sadar mematung memperhatikan dua orang yang dianggapnya sakit jiwa. Yang benar saja?! Untuk apa Justin disana? Bersama Shara? Apa dunia baru membuat mereka berdua sama-sama amnesia? Gila.
Ryan menatapi Justin & Shara dari jauh, melihat gadis berambut panjang disana tengah menghadap kearah sebuah danau. Tak lama Shara melakukan gerakan kecil khasnya. Menyusupkan jumputan rambut ke belakang telinga.
Pemuda itu mengangkat kedua alis saat melihat Shara tersenyum jengah dengan pipi bersemburat merah ke arah Justin yang diam saja di sebelahnya.
Diam. Saja. Jadi buat apa sesungguhnya Justin disana ?
Ryan mengerutkan kening makin dalam saat tak lama Justin melipir pergi. Sementara Shara terus menatapi danau sambil terus menatapi punggung pemuda yang menjauh membelakanginya dengan senyum tertahan.
Gadis itu lupa ingatan atau apa? Tak ingatkah bahwa Justin yang membuatnya menangis meraung-raung waktu itu?
Ryan melangkahkan kaki mendekati Shara lalu berdeham pelan, membuat gadis itu terlonjak kaget lantas membalik badannya sambil menepuk dada.
"Eh.. You" sapa Shara pelan sambil menggangguk takzim ke arah Ryan.
Pemuda itu mengangkat alis, tanpa kata ia berjalan mendekati Shara lalu ikut memandangi kolam.
"I just drop (saya cuma mampir)" kata pemuda itu seolah tak acuh.
Shara mengangguk mengerti, tersenyum sekilas lalu berbalik menghadap danau lagi.
"Do you mind if i ask you something ?" ujar Ryan tak bisa menahan keheranan yang sudah menggantung di ujung lidahnya.
Gadis itu menoleh lewat balik bahu lalu menggeleng ragu. Mengisyaratkan tak apa baginya jika sahabat Justin yg baik hati itu bertanya.
Ryan menarik nafas,
"Why did Justin come here?"
Shara tersentak sekilas, lalu mengulum bibirnya. Tak lama gadis itu menggeleng ke arah Ryan,
"Not..nothing" jawaban yang membuat pemuda itu otomatis mengangkat dua alisnya.
Shara menghembuskan nafas lalu tersenyum tertahan sambil terus memandangi danau beserta kawannya di hadapan,
"He was just... standing and watching me" kali ini tanggapan yang membuat Ryan tersentak balik, karena jawaban ini menunjukkan betapa bahagianya Shara hanya karena kehadiran singkat tanpa kata seorang pemuda yang bahkan pernah menyakiti hatinya.
Ryan mengangguk angguk, bertukas sarkatis,
"Since when did you become a kind of TV shows that need watching? (Dan sejak kapan kamu menjadi semacam acara TV yang butuh ditonton)"
Tak disangka, Shara menyahut
"Some of these days..."
Ryan terperanggah. Jawaban Shara membuatnya berspekulasi. Berarti gadis itu sudah membiarkan Justin mendatanginya beberapa kali. Mengizinkan lukanya tersaput udara terbuka lantas terinfeksi berulang lagi. Sebenarnya apa yang diingini gadis ini? Menjadi martir yang lalu mati demi hatinya sendiri? Ryan tak mengerti.
"You really love him?" tanya Ryan, tak bisa menahan kegeraman, melihat Shara yang begitu naif. Seakan sebelum ini tak pernah terjadi apa-apa.
Shara terdiam, lalu menatap Ryan dengan ekspresi tak terbaca.
Ryan yg merasa menjadi offensif itu mendesah,
"I know it is not my business but..." Ryan memberi jeda, kemudian menohok manik mata Shara yang masih menatap miliknya pula.
"I just.. Don't want to see you crying again" ujar Ryan, menekan tiap silabel yang dituturnya.
Gadis berambut panjang itu terhenyak sesaat lalu tak lama tersenyum dengan makna tak tertebak ke arah Ryan. Pemuda yang terlalu baik hati kepadanya.
"Everything is gonna be alright... I will not cry... Again" Shara terdiam lalu mencoba tersenyum meyakinkan. Tersenyum menyembunyikan. Tersenyum merelakan.
Ryan mengangguk-angguk lalu berucap,
"Okay. Copy that," ujarnya.
Ryan tersenyum menawan,
"Let me know if you need some shoulders to cry on, I will give my shoulders (Beritahu saya kalau kamu butuh bahu seseorang, aku akan kasih bahuku)"
Ryan tak bertahan lebih lama lagi untuk mengetahui tanggapan Shara. Ia terlampau gemas menanggapi kenaifan berlebih gadis itu. Terutama perihal Justin yang seakan tak pernah memberinya luka.
Pemuda itu mulai berjalan menjauh meninggalkan Shara sendiri lalu terus berjalan menuju pintu utama gedung yang mengarah ke belakang gedung.
Ryan mengambil langkah panjang dan langsung menghampiri pintu jati pertama yang dilihatnya. Pinty yg bertuliskan "Justin's Room".
Tanpa mengetuk, Ryan memutar kenop pintu lalu melongok dan melihat Justin, sahabatnya tengah beredar di sekitar ruangan.
Justin bergegas menoleh ketika dirasanya angin luar merasuk dari pintu ruangannya yang tiba-tiba menjeblak terbuka. Ia mengernyit ke arah Ryan,
"Wohaa Dude?" Justin mengangkat sebelah alis, bingung mendapati tatapan Ryan yang terkesan sinis.
"What happens?" tanya pemuda itu, menoleh sekilas lalu bergerak untuk duduk disebuah sofa.
"I wanna talk something seriously" tukas Ryan
"But I have to go to meet Selena" Justin bergumam pelan.
Ryan terperangah, emosi meniupi ubun-ubunnya untuk mengonfrontasi pemuda itu dengan hal lain
"how long do you want to cheat with Selena? (Sampai kpn km mau selingkuh dengan Selena?)"
"Hah ?" Justin bertanya spontan, lalu memutar kepalanya ke arah Ryan dan mengernyitkan dahi.
Ryan melipat kedua tangannya di depan dada,
"You're still with Selena and..." katanya, lalu menarik nafas sebentar,
"What the hell were you doing in the park there? Gave her an empty hope?"
Justin terdiam sebentar, lalu memutar kepala, membuang pandangan dari Ryan.
"I'm not going to answer that." ujar Justin.
Ryan menggeleng-geleng tak percaya,
"Are you playing at her? (Km mainin dia?)"
Justin mendengus, kini membalikkan badan sepenuhnya ke arah Ryan, berdecak
"It is none of your business (Bukan urusan km)"
"JUSTIN!!" seru Ryan kencang.
Pemuda objek seruan itu hanya mencibir,
"Why are you so eager to interfere? (Kenapa km niat banget ikut campur?)" kata Justin.
Justin tersenyum sinis,
"Do you forget? Either you like it or not .." pemuda itu menatap tajam Ryan lewat balik bahunya lagi,
"She's still mine." Seru Justin.
Ryan terperangah.
"Do you know ?" tanya Justin lagi, kali ini tanpa menoleh. Tanpa sadar, emosi yang membuatnya demikian nanti, tak lain karena rasa cemburu yang coba ditekannya melihat perhatian berlebih Ryan pada Shara.
"I'll keep Selena in the first place. But as long as Shara.. doesn't bother me, i'll keep her too. That's all that she wants, also. She WANTS me, not you. (Selena itu prioritas, tapi selama dia ga ganggu aku, aku simpen dia juga. Lagian .. itu yang dia mau. Dia MAU aku, bukan km)" kata Justin tajam, menoleh dan mengangkat dua alisnya seraya tersenyum sinis pada Ryan, lalu memutar kepalanya lagi.
Ryan mengulum bibir sambil mengepalkan tangan, menahan keinginan untuk meringsek ke arah sahabatnya. Ia menarik nafas dalam dalam.
Tiba tiba siluet puntu ruangan yg sama pun berbunyi, menampakan sesosok gadis berdiri mencari seseorang.
"Aaaaah Justin!!"
Ryan dan Justin sama sama melirik ke arah pintu, mendapati Selena tengah tersenyum kecil.
Ryan mendengus malas, kembali menggeleng tak percaya lalu melirik Justin setajam tajamnya terakhir kali sampai akhirnya bergerak untuk menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, pemuda itu memicingkan mata geram ke arah punggung Justin dan Selena, memuntahkan amunisi emosi terakhirnya.
"I ... don't understand who is ever teach you to become a jerk ? (Aku tidak mengerti Siapa yang pernah ngajarin km jadi brengsek ?)" kata pemuda itu lalu melangkahkan kaki keluar dan membanting pintu ruangan.
Sementara Justin melongok sekilas ke pintu, lalu mencibir,
"Care much ?" tukasnya sarkatis.
Tapi ternyata keheningan membuat perkataan Ryan bergaung dan menyinggungnya. Tapi maaf saja ya. Sanggahnya pelan. Gadis itu sudah tahu toh posisi Justin saat ini? Bukan salahnya kan kalau gadis itu mengorbankan diri sendiri. Masalah siapa yang disakiti, menyakiti atau tersakiti, ia tak begitu peduli. Dan bagi logika sok tahunya, Shara bukanlah apa-apa. Hanya sumber adiktif yang harus didatangi Justin untuk alasan egois pemuda itu sendiri. Selama Justin masih bisa berdiri di depan gadis itu tanpa melakukan apa-apa lantas mempertahankan euphoria yang terus memerintahnya untuk memikirkan Selena, pemuda itu merasa takkan ada yang salah. Masalah harapan kosong yang timbul atau tidak, lagi-lagi Justin tak peduli. Itu bukan salahnya jika gadis itu kelewat desperate lantas mengharap terlalu tinggi. Karena sesungguhnya dalam pikiran Justin kini, takkan ada yang berubah. Semakin gadis itu menariknya, maka Justin juga akan mengulurnya semakin lama. Jika ada sayatan yang bertambah parah, toh luka itu bukan untuknya atau paling tidak, bukan untuk Selena-nya. Lagipula, 'bermain' dengan gadis itu seperti ini ternyata menyenangkan juga. Semburat-semburat merah yang dihadiahkan tanpa permintaan. Gerak-gerik salah tingkah yang tak pernah berubah. Justin menyukainya.
Pemuda itu seakan baru tersadar bahwa ia sudah berpikir terlalu lama, ia bergegas menghadap ke Selena setelah wanita itu berdeham kecil.
Justin tersenyum saat Selena menyapanya.
"Hai Sel"
"Hem..."
"Why?"
"No." Ujar Selena sambil memanyunkan bibirnya.
"Sel?" Sapa Justin sambil mengelus pipi sebelah kiri Selena.
"WHT DID YOU DO ? I'VE BEEN WAITING FOR AN HOUR!"
"Hey hey... Sorry... I.. I did nothing..." Ujar Justin memelas.
"Really ? I jst had a strange thought"
"What?"
"you .. didn't cheating behind me, did you ?
Justin membiarkan jemarinya mengambang kearah pipi Selena.
"Never do that.. How on earth could you ever think about that? Hem? Hem?" Ujar Justin sambil menggelitik perut Selena.
"Ihhh Justin...." usaha Selena untuk menjauh dan berlari keluar ruangan, dua anak manusia itu Selena dan Justin sedang diberlarian tertawa sambil melakukan adegan-adegan konyol, hingga panggilan membuyrkan mereka.
"Hey hey hey guys... Don't act like child" ujar Wilson.
"Eh hey Wilson" jawab Justin.
"Do you guys wanna return to Hotel now?"
Justin terkesiap, melirik ke Selena.
"Emm.. Maybe yes... Why?"
"No... May Shara follow with you? Cos she gets tired" ujar Wilson sambil mendorong Shara.
Sedangkan Shara melirik Justin dan Selena bergantian lalu kembali mengulum bibirnya dan mencoba kembali menghitung berapa banyak kuman yg berriakan dilantai. Dan kini Shara harus kembali menahan kuat kuat amarahnya karena hatinya sedang diliputi kecemburuan saat melihat Justin berbisik pelan dan menepuk puncak kepala Selena.
Sedangkan Selena hanya tertawa.
"Oke I have to go, Shar, take care of yourself okey" ujar Wilson sambil menepuk pipi Shara dan berlalu pergi.
Shara menghela nafas, mengerjap mata mengikuti langkah dua sejoli didepannya. Shara membuang muka. Berusaha mengalihkan pikiran dan berharap dirinya amnesia. ia sama sekali tak ingin mengingatnya.

***

- Selena's POV -

Selena merasa ada yang berbeda. Tidak banyak mungkin, namun tetap saja... masih ada keresahan itu disana. Bayangan bahwa Justin suatu saat meninggalkannya menari-nari di depan mata. Tidak mau. Selena menggeleng pelan sendiri. Ia menggigiti bibir lalu melirik ke arah pemuda yang sedang menggerakkan setir di sebelahnya. Bisa diciumnya bahwa ada yang berubah. Beberapa hari terakhir, Justin sesekali dapat terlihat sedikit lebih .. lebih bebas dan liar, mungkin. Seperti orang yang sedang 'high'.
Selena melirik lagi ke arah kaca depan yang menggantung di langit-langit mobil. Tidak seperti beberapa hari sebelum ini dimana ia bisa bernafas lega, kali ini Selena mendesah tak kentara melihat mata Shara sedikit bercahaya. Binar yang sebelumnya menghilang kembali lagi. Beberapa kali dilihatnya gadis itu melirik ke arah Justin dengan penuh arti tersembunyi.
Selena membuang muka, lalu memainkan ujung roknya. Bagaimana sebelumnya ia bisa bernafas lega. Padahal ia tahu kalau Justin dan Shara masih berdekatan? Wilson masih bagian kru dari Tour Justin, Bukankah bisa terjadi apa saja saat Justin tak bersamanya?
"Justin?" panggil Selena pelan, karena kecemasan begitu akut menekan jantungnya.
Justin mengangkat alis lalu terrenyum ke arah Selena,
"Ya?"
"You...will never leave me, won't you?" tanya Selena sambil memagut mata Justin. Pertanyaan yang membuat pemuda itu, bahkan Selena yakin, Shara juga tersentak. Setelah melontarkan pertanyaan gadis itu menunduk sedih.
Justin menghembuskan nafas panjang lalu menepikan mobilnya sebentar, karena saat ini ada hal yang lebih penting dari keterlambatan. Ia memandangi gadis di sebelahnya, lalu mengangkat dagu tirus Selena dengan telunjuknya.
"Hei," katanya sambil menatap Selena dalam-dalam, untuk kesekian kali betul-betul lupa bahwa ada orang lain di belakang mereka.
Justin menggerakkan tangannya untuk mengusap tulang pipi gadis itu.
"I won't leave you. Never do that." katanya sambil tersenyum menenangkan.
"You won't leave me .. For anything ? Or for anyone ?" tuntut Selena dengan tujuan, diam-diam bisa mendengar Shara menahan nafas.
Justin menggeleng,
"Not for anything or for anyone. Not for any reason," katanya meyakinkan
"This i promise you." Seka Justin.
"Okay." kata Selena lalu mengangguk dan setelah itu membiarkan Justin melepas tangan dari pipinya untuk kembali mengemudi. Tak sengaja, gadis itu melirik ke arah kaca menggantung yang sama. Entah kenapa menahan diri untuk mendesah lega keras-keras sewaktu melihat tatapan kosong milik gadis lain di belakang itu.
Tak lama, ketika plang hotel mulai terlihat dari kejauhan, Selena merogoh saku untuk meraih ponselnya yang berdering.

From : Ashleeeeeey!

Where r u Sel?

"OMG!!! Justin Justin Stop" seru Selena saat mobil Justin memasuki pelataran parkir dan melewati lobby hotel.
"Where will you go, Sel?" tanya Justin sambil menginjak pedal rem mendadak.
"I've promised to hang out with Ashley and I forgot"
"Oooh, should I take you?"
"No... You shouldn't I will go by taxi... Key, bye" Selena tersenyum sekilas lalu bergegas membuka pintu dan melompat turun dari mobil Justin.
Justin mengangguk.
Tak lama setelah menaiki undakan depan, berjalan mencari Taxi, Tiba-tiba Selena mematung, ia celingak-celinguk lalu menepuk dahi. Baru sadar bahwa sesuatu tak ada di tangannya. Sesuatu itu sepertinya tertinggal di mobil Justin tadi.
Selena buru-buru berbalik dan berlari kecil ke luar gedung. Ia menuju pelataran parkir sambil mencari-cari penampakan Ranger Rover Justin. Gadis itu menghembuskan nafas pelan saat menemukan apa yang dicarinya. Berikut pemuda pemilik mobil yang tengah turun dari pintu, diikuti gadis lain yang menyusul keluar dari bangku belakang.
Gadis berwajah tirus itu menghentikan langkah seketika saat melihat apa yang terjadi setelah itu. Bulu kuduknya meremang pelan. Shara baru saja akan berjalan melewati Justin, saat tiba-tiba pemuda itu menahan tangannya, menyentaknya hingga berbalik menatapi wajah tampan itu. Selena turut menahan nafas saat memperhatikan Justin menatap Shara begitu lekat dengan pandangan tak terbaca.
Bahkan dari kejauhan, Selena tahu bahwa detik-detik itu begitu bermakna. Karena gadis berwajah itu pun tahu bagaimana rasanya dilelehkan oleh bola mata yang sama. Lantas tak lama Justin melepas cekalannya, membiarkan Shara menunduk lalu berjalan mendahului pemuda itu.
Selena terdiam. Tidak tahu mau berbuat apa.

***

sekarang aku tersadar
cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi

***

- Shara's POV -

Dua pesan singkat malam itu. Sinyal pemberitahuan tentang akhir waktu. Yang sesungguhnya ia sudah tahu. Yang membuatnya sedari kemarin tersenyum meyakinkan. Tersenyum menyembunyikan torehan dan kemunafikan. Tersenyum sudah siap merelakan.

From : Selena

Shara, I hope you understand, Please .. Stay away from him. I. Beg. You :)

To : Justin <3

To : Justin

I've tried to understand, I've tried to hide my feeling but now I want all of our relationship clearly, so Meet me at garden park tomorrow afternoon. I wait for you. Hope will see you there :)

Lalu Shara mematika handphonenya.

***

The next day...

namun ku rasa cukup ku menunggu
semua rasa tlah hilang...

Detak dan detik berkejaran, terus berlari hingga kabut hitam datang dan serumpun cahaya matahari habis dilalap petang.
Shara bergerak gelisah, menyenderkan badan pada bangku taman, duduk sigap, berdiri, memandang danau terus seperti itu.
Sudah berpuluh-puluh pose yang dilakukan namun batang hidung seorang Justin tidak juga datang.
Gadis itu mendesah, lalu menyandarkan diri pada bangku taman, bertopang dagu sambil menatap dua pasang burung berkicau didepannya yang sedang berpacaran dibawah langit yang mulai melumut dari semburat jingga menuju pekat hitam.
Shara menggigit bibir, membiarkan matanya menelusuri rumput. Gadis itu tersenyum miris mengingat semua memori indah bersama Justin. kenapa segalanya harus berubah begitu cepat? Bahkan apa yang belum sempat terucap terlalu kilat terlewat. Gadis itu merogoh kantongnya, lalu menimang ponsel yang baru ia raih. Ada alasan kenapa ia menonaktifkan benda itu. Karena ia tak mau mendapat balasan pesan penolakan, sebelum ia sempat berjuang. Ia tak mau mundur, sebelum menunggu. Karena penghabisan waktu sudah mengetuk pintu, Shara tahu itu. Dan gadis itu pun tahu, sesungguhnya ia bukan orang yang terlalu pandai membohongi diri sendiri. Dan hanya sampai disini kapasitasnya untuk berlagak munafik dan tak tersakiti.
Tiba-tiba suara gemuruh petir mengantar petang itu.
"It starts raining...." Ujar Shara sambil menatap langit yang kini sedikit demi sedikit mengeluarkan air mata awan itu.
Hingga anak hujan terus mengalir lebat, petang sudah berkabut malam, burung burung tak lagi bermain ditaman ini, petir menjadi backsoundnya Justin tak kunjung datang.
Shara menggigit bibir, menarik lutut yang tadi ia luruskan lalu memeluk keduanya dan membenamkan kepala di antara sela mereka. Ia memandangi jari kakinya, lantas membiarkan matanya menelusuri Masih setia menunggu sosok lelaki itu disini. Ditaman ini. Malam ini. Dibawah hujan ini.
Tubuhnya sedikit mengigil sudah lelah raganya untuk menunggu Justin lebih lama. Akhirnya Shara mendesah dan menghidupkan benda elektronik dalam genggamannya. Benar saja. Sebuah tanda pesan baru langsung menandak dalam layar begitu ponselnya telah merampungkan proses pengaktifan.

From : Justin <3

I couldn't come. Have to go with Selena. Sorry.

Shara tersenyum tipis, lalu menggeleng sendiri. Berusaha untuk tidak menggoyakan hatinya. dan pastinya Ia akan memaafkan Justin. Ia takkan pernah menyalahkan Selena juga. Tak ada yang salah disini. Shara hanya menyesal kenapa dia harus hadir diantara Selena dan Justin.
Shara menoleh ke sekelilingnya, danau, taman, hujan. Semua seakan tersenyum sarkatis kearahnya, lalu Shara menarik nafas, dan tersenyum berserah.
"God? Can you explain? why you give Justin to Selena?" tanyanya kecewa.
Shara memejamkan mata kuat-kuat. Tak ada jawaban yang didapatnya pula.
"Why did Justin meet me? If in the end Justin wasn't for me? Why? God? Why? Answer please!!!!!" sejuta tanya tanpa ada jawaban yang ada hujan terus menertawakannya.
"WHY DO I LOVE JUSTIN SO MUCH? ANYONE ANSWERS THIS STUPID QUESTION PLEASEEEEEE!" Teriak Shara dengan suara bergetar, tak tahan lagi. Tak sanggup lagi dengan lorong gelap tak berujung bernama masa depan yang harus dijalaninya. adakah setetes kebahagiaan saat hatinya tak mampu merasakan lagi cinta karna sakit yg dirasakan?
Shara menarik nafas, berdiri, menahan pedih hatinya, menahan sayatan yang berniat keluar dari pelupuknya, lalu menggeleng samar dan berbalik ke arah bangkunya.
"AAAAARGH !" Geram terakhir Shara sambil menendang bangku taman itu.
Harusnya ia tak pernah mengenal cinta, seperti dulu saja. Tak kenal cinta, hingga takkan ada terjal siksa yang harus ia rasa.
Shara menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, membiarkan jari-jarinya dirembesi buliran basah.
Ia berusaha pergi menelusuri jalan, teruslah hujan menemani dirinya agar setiap air mutiara dari sela matanya tersamar bersama angan-angannya bersama Justin.

***

dahulu kaulah segalanya
dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
namun sekarang aku mengerti
tak perlu ku menunggu sebuah cinta yang sama
(Raisa-Apalah Arti Menunggu)


***


How To Love - Part 17

Re-post 
...:: How To Love ::... 
Part 17

Story by @BieberLSIndo


***


Pada hakikat nya cinta hanya membutuh kasih sayang yang tulus, kejujuran dan kesetiaan pada satu cinta.

***

Di tepi tempat tidurnya, Shara terpekur. Memegangi jantungnya sendiri, seakan takut organ krusial itu akan meledak lantas jatuh berserak. Setelah mengetahui sebegitu pentingnya posisi Selena, ia tak mampu lagi menyangkali sakit hatinya lagi. Kini ia hanya bisa berharap, perih ini akan menghilang bukannya melesak makin dalam. Walau jelas-jelas tak mau mengerti, dalam benak Shara semua yang terjadi hari ini sudah menyambung rantainya sendiri. Menyatukan setiap kata dalam potongan kisah. Membuatnya tak bisa bernafas, bahkan hanya untuk sekedar mendesah. Plester ketidakmau-mengertiannya tadi ternyata tidak berfungsi. Malah membuat lukanya bertambah parah, yg kini bisa membuat hatinya bernanah. Entah kenapa, kumpulan galeri foto dilembar menu handphonenya tadi menarik perhatian gadis itu. Disertai gemuruh yang tak tenang juga dalam dadanya, Shara meraihnya lalu menslide beberapa foto yg terpampang dilayar handphonenya, Harusnya, Shara tidak heran saat melihat apa yang ia dapat. Jelas, ini semua foto kenangannya dengan pemuda yg mungkin sudah lupa dengan semua kisah dialbum foto ini.
Shara terperanjat, baru sadar siapa pemuda di foto ini. Justin. Tentu saja. Siapa lagi ?
Shara meneliti satu persatu setiap lembar foto yg bergantian satu per satu di tangannya, bersiap menghadapi muntahan peluru kenyataan lagi. Setitik air mata merembes tanggulnya, karena sesak itu tak mampu lagi ditampung rongga dadanya.
Bukankah segalanya begitu jelas? Justin mencintai Selena, bahkan sebelum nama Shara sempat terfikir untuk dituliskan dalam kitab hidup pemuda itu. Shara mendekap handphonenya saat foto dirinya dan Justin berada disebuah pantai ke dadanya, entah untuk apa. Mungkin untuk memaksa sesak di jantungnya agar menghilang seketika. Dia tidak mengira ada perasaan sedalam itu anatara Justin dan Selena. Shara menyesali kenapa dia harus hadir sebagai selingan dan jatuh telalu jauh dalam kilatan mata pencair tembaga itu. Kini, saat kedua tokoh utama dalam cerita telah bersatu lagi. Apa yang diharapnya?
Dan lagi-lagi airmata, kelompok bening yang selalu mengekori jejak pendahulunya ikut terembers. Jangan begini, batin Shara sendiri. Setetes jatuh, yang lain pasti mengikuti, jangan...
Dengan fokus pandangan mulai mengabur, Shara menangkap sesuatu berkilat dalam slide photo albumnya. Ternyata kilatan itu adalah sebuah foto yang memantulkan sebuah benda berbulu putih yang sedang duduk manis di dekat dirinya. Justin-bearnya.
Shara terhenyak, merasakan kenangan mulai menguburnya dalam kepahitan tak tertanggungkan. Justin yang pernah berusaha kelewat keras untuknya itu, masihkah ada disana? Masihkah ada utnuk merengkuhnya?
Shara tidak mengerti lagi. Bukankah dia sudah mempersiapkan diri? Lalu kenapa hatinya mesti sesakit ini? Saat Shara dipaksa untuk mengerti, akumulasi kebenaran yang ia lesak terlalu kuat akan menohoknya kembali hingga ia tak mampu merasakan apa-apa lagi. Segalanya berputar di kepala Shara, merasuknya hingga hampir gila. Semua yang pernah terjadi, dijejalkan lagi padanya saat ini. Setiap kenangan, ejekan, rengkuhan, keharuman hingga tampikan membaut gadis itu terperosok makin dalam. Shara memukuli ulu hatinya sendiri. Tidak mengerti kenapa ia harus menyayangi Justin sedalam ini. Sudah, berhenti. Berhenti. Ia mengusap sungai kecil yang menganak di pipinya, memekik dalam hati agar kelanjar air matanya lebih baik tak usah berfungsi. Ia hanya mau ada Justin disini. Mendekapnya lagi. Bukan Selena.
Mungkin Justin, pemuda yang sedang menyesak hati Shara itu, tak tahu bahwa apa yang pernah ia pinta telah terjadi malam ini. Harapan yang pernah Justin panjatkan pada suatu malam berhujan dikereta gantung. Akhirnya, Shara menangis untuknya. Dan bahkan ia tak berada disini untuk melihat keinginannya sendiri terwujud.
Tak lama perasaan surut pula. Shara mendesah saat mendapati keheningan bergaung keras pada kamarnya. Tergoyak hati ingin melihat wajah pemuda beralokasi tampan yg mungkin saat ini sedang mengarungi mimpinya. Shara beranjak keluar kamarnya, saat sisi lift telah tampak dua meter di hadapannya, gadis itu memutuskan berbalik lagi. Dan dengan langkah ragu, ia berjalan mendekati salah satu pintu kamar yang terletak di ujung lorong. Ia memutar kenop pintu lalu melongok,
"Jus...tin?" panggilnya pelan dengan sarat kecemasan. Shara menghela nafas lega saat menemukan pemuda yang dicarinya tengah tertidur pulas dengan nafas teratur.
Gadis berwajah tirus itu menggigit bibir, lalu memutuskan masuk, menutup pintu dan berjalan mendekati tempat tidur kekasihnya.
"Hhhh" nafas Shara tercekat saat melihat pemuda itu. Tertidur sambil tersenyum manis seakan sedang bermimpi sesuatu hal yg sangat menyenangkan. Shara tersenyum miris lalu berlutut di samping tempat tidur. Ia mengusap tangan halus Justin entah untuk apa sambil menghela nafas lagi.
Ia tidak menyangka perjalanan cintanya harus membuat dirinya sendiri menegar padahal ini sangat membuatnya merapuh. Kepergian sosok pemuda ini ternyata betul-betul membuat Shara seakan kehilangan separuh nafasnya.
Tak lama, Shara menatap Justin yang masih tertidur.
"Sleep tight, babe..." bisiknya pelan, lalu mengecup pipi Justin yang sempat menggeliat sekilas. Setelah itu, Shara berusaha tersenyum. Karena ia tahu, paling tidak harus ada yang cukup tegar untuk dirinya. Cukup tegar untuk menunjukkan bahwa hidup harusnya tidak lantas berhenti setelah kepergian yang memang menelangsakan hati ini.
Shara bangkit berdiri lalu mengambil langkah panjang menuju luar kamar, lalu bergegas bergerak ke arah kamarnya.

***

- Selena's POV -

Bahkan sebelum sayap fajar membentang, gadis itu telah terjaga dari tidurnya. Ia menurunkan selimutnya, mengerjap sekali lalu bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. Untuk alasan yang tak kasatmata, ia menghela udara dan tersenyum cerah dengan perasaan senang yang membuncah. Mengingat mimpi-mimpi panjangnya yang terasa nyata.
Shara menghembuskan nafas, lalu bangun dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju jendela besar yang terletak di sudut kamarnya. Ia menyibak tirai gading besar disana lantas tersenyum pula pada bias keemasan yang menerpa kaca dan memantul dari sepasang mata coklat tua miliknya. Ah, matahari. Bukankah setiap pagi hari adalah sebuah keajaiban baru yang patut disyukuri?
Ia menghirup udara hingga memenuhi rongga paru-parunya lalu berbalik dan bersenandung pelan sambil menyiapkan diri untuk berangkat mengikuti sebuah konser Justin.
Selesai berbilas, gadis berdagu lancip itu mengenakan pakaian santainya, Lalu tak lama menarik bangku dan duduk untuk mematut diri di hadapan kaca rias, mengambil sisir untuk merapikan rambut dan bersolek natural.
Setelah sekali lagi mengecek kerapihan pakaiannya, gadis itu menyambar Anya Hindmarch dan ponselnya lantas berjalan meninggalkan kamar saat sebuah ketukan dipintu mengalihkannya.
Senyum otomatis terpulas pada wajah manis Selena saat melihat seorang pemuda tampan berdiri tegap dihadapan pintunya.
"Good morning, Sleep well, princess?" Sapa lembut Justin yg membuat gadis itu tersenyum saat mendapati sebuah sapaan manis singkat yang menyejukkan hati.
"Morning, price. Yes, dreamed about you" balas Selena.
Justin. Pemuda inilah yang menjadi alasan bagi Selena untuk memulai hari. Untuk menguatkan diri. Pemuda yang tanpa sengaja dimaksudkan dan sudah menasbihkan diri harus membuatnya tersenyum lagi.
"Are you ready?" Ucap Justin yg langsung mengamitkan tangannya untuk digandeng Selena.
Gadis itu menarik sebuah senyum lagi saat Justin menepuk lengannya. Ia menahan nafas lalu melirik ke arah ranger rover Justin, tergerak untuk menanyakan sesuatu
"Em.. Shar.."
Justin mengangguk cepat sebelum Selena selesai melontar pertanyaan, seakan ucapan itu mengganggunya,
"Never mind... Imagine there's nobody" kata pemuda itu sambil mendorong lembut bahu Selena agar berjalan mendahuluinya.
Gadis itu mengulum bibir. Menyadari dan menyerapi kata per kata dari kalimat singkat Justin tadi. Mungkin ia sebenarnya tak perlu repot-repot mencemaskan Shara. Ketidakacuhan Justin yang begitu jelas, membuat Selena diam-diam menghela nafas lega. Takkan ada yang mengganggu mereka, bahkan Shara.
Buru buru ia enyahkan beban pikiran yang masih bergelantungan di benaknya. Mengacuhkan tuntutan 'moral' yang terelu dan terasa terlalu mengganggu. Tak ada yang boleh membuat pagi ceria ini terkontaminasi. Ia harus belajar bersikap tak peduli.
Selena melangkah masuk dan duduk di jok depan, lalu menarik nafas panjang sambil mengalihkan pandangan dan tersenyum pada Justin yang menyusul masuk.
Pemuda itu mulai menggerakkan tuas gigi saat ia menoleh ke arah Selena,
"Eh, Sel, I have.." ujar Justin sambil mengangkat alis, membuat gadis berdagu lancip itu mengerutkan dahi.
Justin merogoh rogoh dasbor mobilnyanya. Ia tersenyum tipis saat jemarinya mengapit sebuah jepit mungil beraksen pita.
Justin mengacungkan sebuah jepitan beraksen pita berwarna merah muda ke hadapan Selena. Justin menyusupkan jumputan rambut gadis itu yang lagi-lagi berkeliaran, Justin mengangkat poni Selena ke atas, lalu menahannya disana. Ia memagut mata gadis itu, pemuda itu, tersenyum pelan lalu menyematkan jepitan besar yang dibelinya untuk menahan poni Selena, agar diam disana sementara.
Selena pun tersenyum manis pada Justin saat selesai memakaikan jepitan itu lalu Selena melihat refleksi dirinya dari tuas kaca spion.
Justin kembali melayangkan tangan ke puncak kepala Selena lalu mengetuk jepit kecil yang menahan poni gadis itu, tersenyum tertahan.
"You look beautiful and Its more beautiful than..." Justin menggantung kalimatnya, mendelik ke arah belakang sebentar menangkan mata Shara yg sekarang sedang menelan ludah saat Justin mencoba membandingkan jepitannya dengan jepitan pemberian dari Chaz.
Pemuda itu menatap Selena lagi, lalu tersenyum sebentar. Ia melepas tangannya dari puncak kepala gadis itu lalu mulai menggerakkan setir.
Selena mengernyit sebentar lalu memutuskan mengangkat bahu sendiri melihat keanehan pemuda di sebelahnya. Tak lama, ia tergerak untuk melirik Shara dari kaca depan yang menggantung di langit-langit mobil. Menyadari gadis berambut lurus di belakang sana tengah membuang pandangan ke luar jendela. Seakan pikirannya melayang entah ke mana.
Tapi Selena tahu pasti bahwa Shara tengah berusaha keras berpura-pura. Atau menulikan telinga. Tentu saja. Karena gadis berwajah tirus ini sendiri pun pernah melewati fase seperti itu.
Selena mengulum bibirnya lagi. Sejujurnya, ia tidak begitu peduli. Lagi-lagi direpetisinya pembenaran itu dalam hati. Tidak akan ada yang salah dalam cinta, Kan?

***

Pemuda yang tengah naik daun dalam masa popularitasnya kini sedang melantunkan suara merdu dari pita tenggorokannya, melangkah dengan giring-giring beberapa penari latar di belakangnya, serumpunan manusia kini mendampingi dengan menabuh alat alat musik dibalik beberapa interior properti disetiap sudut panggung dan kilauan lampu yang menggema dekup meriah. Rupanya, Malam ini konser Justin Bieber di Hyde Park, London sudah digelar.
Shara dan beberapa kru lain sedang menatapi pemuda itu di sisi panggung, dengan energi yang membahanam Shara terus menerus menonton pemuda, tak terbesit untuk berteriak memanggil nama Justin sekencangnya, sekerasnya sambil meloncat loncat seperti dahulu.
Sedangkan, sosok yang sedari tadi menjadi objek bahasan, telah mengintai mereka dengan tatapan matanya diatas panggung.
Shara tersenyum, miris saat tradisi OLLG yang ikut mengingatkan dirinya saat menjadi OLLG di Indonesia. Akan kah semua kembali? Shara tersenyum miris.

***

Setelah memakan waktu kurang lebih 2jam, konser Justin pun berakhir. Tak ayal Shara langsung kembali ke belakang panggung, berjalan menunduk hingga tak sadar dirinya menubruk seseorang.
"So..sory" ujar Shara sambil menjulurkan tangannya.
"never mind" jawabnya singkat.
Shara terbelalak saat dirinya menangkap juru mata itu, ternyata dia baru saja menabrak Selena.
Selena yg terjatuh dengan perlahan bagun lalu membersikan titik titik pakaian yg mungkin tersirat noda. Tiba tiba...
"Sel? What happened?"
Shara dan Selena melirik ke arah sumber suara, Justin. Justin tengah berjalan kearah mereka lalu melirik Shara dan Selena bergantian. Justin tersenyum lalu merengkuh pinggang Selena dan Selena menyampirkan tanganya kebelakang leher Justin.
Sontak kejadian ini membuat Shara mematung, ia berdoa agar semua organ tubuhnya mati, agar matanya buta, agar semua pikirannya hilang.
"Are you tired?"
"I am..."
"This.. Ur drink..."
Shara seketika terpaku saat matanya menatap apa yang sedang dilakukan pasangan di depannyanya. Tuhan... Jika kau ingin mengambil nyawaku, ambillah sekarang, Doa Shara dalam hatinya.
Tak lama, Justin yang merasa diperhatikan menoleh pula. Masih melingkarkan tangannya dipinggul Shara, pemuda itu tanpa sengaja menatap tepat di manik mata Shara lalu ikut mematung saat sebuah perasaan aneh menohoknya. Kilatan dua mata bening polos itu seakan sedang mendakwanya.
Shar meneguk ludah,
"So..so..sorry.." ujarnya sambil menunduk.
Keduanya pun langsung melepas rengkuhannya dan memberikan Shara sebuah ruang untuk melewati mereka. Shara lalu bergegas menundukan wajah tanpa berniat melirik sedikit pun lagi ke arah Justin. Gadis itu menarik udara dan menghembuskanmya lamat-lamat, lantas mengulangi prosesi itu beberapa kali. Berusaha menetralkan pikiran. Menyesali mengapa pula dirinya harus ditakdirkan melihat peristiwa romantis tadi dua-kali.

***

- Justin's POV -

Picture perfect memories
Scattered all around the floor
Reaching for the phone 'cause
I can't fight it anymore

Setelah wangi gadis yg ditampiknya, Justin tanpa sadar masih memperhatikan gerak-gerik Shara begitu lekat hingga tubuh tegap Shara hilang dibalik pintu.
Justin tak tahu apa beda mimpi, memori dan fatamorgana. Karena sepertinya semua hal yang ia sebut tadi sedang mengacaukan pikiran pemuda itu bersamaan. Ia tak mengerti apa mimpi bisa sepadat memori, atau apa memori bisa semenggoda fatamorgana atau apa fatamorgana malah menjadi sesuatu yang teringat bukannya terlihat. Karena sesungguhnya bayangan gadis itu mengganggunya. Melayang-melayang seperti kabut di lekukan otaknya. Apa yang pemuda itu anggap sebagai bunga tidur malam tadi, ternyata tak bisa tak diindahkannya. Bayangan itu. Gadisnya.
Justin berdeham kecil, lalu membiarkan matanya menelusuri permukaan dinding yang sama hingga fokusnya kini menangkap gerakan wajah sosok lainnya. Pemuda itu menatapi potongan wajah tirus Selena yang sebagian tertutup tirai rambut ikalnya. Ia menghembuskan nafas panjang, berusaha membenahi benaknya. Berupaya mengatur siaran yang seharusnya menetap pada frekuensi yang tak berubah. Frekuensi Selena.

And I wonder if I
Ever cross your mind
For me it happens all the time

"Justin.. Its.." Selena menoleh ke arah Justin lantas terdiam saat melihat pemuda itu memasang ekspresi tajam sambil bergerak pelan mendekatinya.
"Sel..."
Selena tersenyum bingung, jengah saat mendapati tatapan Justin seakan hendak menelannya bulat-bulat. Selena menahan nafas saat pemuda itu tiba-tiba menggerakkan tangan di depan dahinya.
Justin menyeka anak-anak rambut yang berkeliaran di luar jepit poni Selena lalu menelaah profil wajah gadis di hadapannya dengan seksama. Pemuda itu menelan ludah, ketika jemarinya tiba di sudut mata Selena.
Ia terkesiap saat dalam penglihatannya, bola mata coklat tua disana berubah menjadi kilatan bening yang tadi mendakwanya. Rambut ikal Selena seketika memanjang lurus tiba-tiba, sedang dagu tirusnya mulai menumpul dan melembut perlahan. Harum yang melayang dan terendap dalam ingatan Justin sejak ‘mimpi’ kemarin itu menguar tanpa permisi. Karena tanpa sebab, dalam pantulan pencair tembaganya, bukan Selena yang berada di hadapannya melainkan Shara.
"Justin?" suara renyah penuh kebingungan milik Selena menyentak Justin seketika. Pemuda itu mengerjap lantas meluluhlantakkan visualisasi transformasi wajah yang terjadi begitu mendadak tadi.

It's a quarter after one
I'm all alone
And I need you now
Said I wouldn't call
But I've lost all control
And I need you now
And I don't know how
I can do without
I just need you now

Justin terperanjat, secara reflek melepas jemarinya dari wajah Selena yang sedang mengernyit. Pemuda itu memijat tulang hidungnya tanpa sadar, mendadak kepalanya disergap kepeningan luar biasa. Karena ia menyadari hal ini harusnya tak terjadi.

"I.. I go outside.. Okey"
"Are you sick?" Tanya Selena seakan merevisi.
Justin menggeleng, tersenyum pelan menutupi hal aneh yang selintas dirasanya pada gadis ini. Ia tersenyum lalu menepuk puncak kepala Selena pelan dan berjalan menuju pintu keluar ruangan itu.
"Justin?" panggil Selena pelan pada pemuda yang sedang berjalan memunggunginya.
"Hmm?" jawab Justin singkat sambil membalikkan badan.
"Don’t ever leave me, do you?" tuntut Selena cemas, entah kenapa terbeban untuk bertanya seperti itu.
Justin terdiam sebentar lalu tersenyum tipis.
"I.... never do that” katanya menenangkan.
Selena mengangguk pelan sambil menggembungkan sebelah pipinya.

Another shot of whiskey
Can't stop looking at the door
Wishing you'd come sweeping
In the way you did before

Justin berjalan sambil memijat sebelah keningnya yang berdenyut-denyut. Ia memandang lurus ke arah jalanan di hadapannya. Lalu tanpa diperintah, jantung pemuda itu bertalu semakin vital seiring inci demi inci yang ditempuh kakinya. Saat kornea matanya membawa kerumunan kru nampak di depan mata, alam bawah sadar Justin bergegas menuntut apa yang harus didapatnya sekarang juga. Harum dalam ‘mimpi’ itu.
"Do you see Shara?"
"Don't..."
"Where's Shar?"
"I haven't seen"
"Wilsoooon... Do you know where Shara is?"
"I think she's with you..."
Justin menjenggut kepalan rambutnya. Kenapa semua orang tidak ada yg mengetahui keberadaan Shara. Justin menghela nafas panjang berlari hingga berhenti tepat di depan pintu utama.
Akhirnya, keinginan kuat yang susah payah ditekannya mulai menggelegak dan meluber keluar. Menetesi tiap langkahnya untuk mencari. Justin melangkah pelan melewati pelataran parkir, insting gila itu mengilhaminya untuk melacak ke tempat dimana gadis itu seharusnya berada.

And I wonder if I
Ever cross your mind
For me it happens all the time

Justin seperti bermimpi dalam keadaan terjaga. Bergerak layaknya orang yang berjalan dalam tidur. Sesuatu memicunya untuk berjalan mendekati gadis yang memunggunginya di sebuah taman.
Rambut Shara yang terkuncir asal, bergoyang pelan, seakan memandu Justin untuk melangkah ke arahnya. Ketika mendekati Shara, pemuda itu memberi isyarat diam-diam menyisakan dirinya dan Shara. Harum yang sejak malam tadi membayanginya makin bergemuruh. Wangi campuran kayu manis dan hydrangea yang memabukkan.
"I wake up to your sunset...It’s drivin m..." saat membalik badan dan mendapati siapa yang sedang mematung di belakangnya, Shara terperanjat.

It's a quarter after one
I'm a little drunk
And I need you now
Said I wouldn't call
But I've lost all control
And I need you now
And I don't know how
I can do without
I just need you now

Satat gadis itu mengangkat wajah dan terpana, Justin seakan baru menyadarinya. Entah apa yang membuat gadis itu tampak begitu mempesona. Mungkin sepasang mata beningnya yang kini membelalak lebar, mungkin hidung bangirnya yang mengalir sempurna dengan dua alis terpecah di atas mata, mungkin bibir mungilnya yang kini terbuka beberapa senti atau mungkin juga karena anak-anak rambut yang direkatkan keringat pada bingkai rahang lembutnya.
Kesederhanaan yang biasa dan luar biasa di saat bersamaan. Kecantikan yang tidak disengaja. Justin terpaku saat memperhatikan sebulir keringat menuruni dagu dan leher jenjang gadis itu. Seakan ia tak pernah punya cukup waktu untuk mengagumi gadis itu sebelum ini. Dan Justin membiarkan gadis itu menyihirnya, mengabaikan detak-detak terlewat tanpa suara, membiarkan logikanya bungkam dan alam bawah sadarnya berbicara.

Whoa, whoa
Guess I'd rather hurt
Than feel nothing at all

Saat Shara mulai bergerak gelisah, berniat merubah posisi, pemuda itu meneguk ludah.
"Ssssh...stay" perintahnya pada Shara.
"Just a minute" kata Justin tanpa sadar mengulang kata penggagal keputusan Shara malam itu. Justin berjalan mendekat hingga berbuah jarak beberapa senti ke depan Shara, Justin membiarkan aroma gadis itu merasuk tulangnya dan pemuda itu pun menahan nafas dan mulai menggerakkan tangannya untuk merengkuh wajah Shara.

It's a quarter after one
I'm all alone
And I need you now
And I said I wouldn't call
But I'm a little drunk
And I need you now

Drrt .. Drrt ..
Justin mendengus seketika saat getaran ponselnya membuat pemuda itu harus kembali menurunkan tangan.

From : Selena

Where r u now? Someone's looking at you, kinda miss :p

Pemuda itu menatapi layar ponselnya, lalu memandang ke arah Shara. Ia tertohok ketika kesadaran menghantamnya. Sang euphoria baru saja berkata, bahwa secara tidak langsung gadis itu telah mengganggunya.
Shara masih menahan nafas, tidak mengerti kegilaan apa saja yang sedang terjadi. Kenapa Justin menjadi berubah tiba-tiba, seperti berkepribadian ganda. Kadang begitu, kadang begini. Tadi pagi menampiknya dan kini menghampirinya.
Gadis itu mengernyit makin heran saat melihat Justin menyambar selembar sapu tangan berwarna coklat dari saku belakang celananya.
Pemuda itu menghembuskan nafas pelan. Seharusnya, gadis ini tak boleh terlihat begitu cantik di hadapannya. Tak boleh menghantuinya. Tak boleh membuat Selena terdepak dari batok kepalanya.

And I don't know how
I can do without
I just need you now
I just need you now

Setelah itu, Justin bergerak mengulurkan tangan untuk menyeka wajah penuh keringat milik Shara. Ia mengikuti lekuk demi lekuk wajah Shara dengan pelan, Ia menghapus pula bayangan gadis yang bahkan masih meracuni logikanya meski sudah sedekat ini.
Ketika selesai, Shara merasa sebuah rengkuhan, ia menampik diri Justin memeluknya perlahan.
Shara semakin bingung sewaktu Justin memandangnya dalam sekali lagi lantas bergegas pergi tanpa satu pun tambahan kata. Tapi tak bisa dipungkiri, ada bagian hati gadis itu yang berkobar liar.
Tiga kata ajaib dari Justin itu, tiga kata serupa dengan ujaran yang menjadi pematah niatannya kala itu seakan menutup semua sayatan yang tertoreh menganga. Walau gadis itu tak mengerti. Meski tak lagi terbuka, sayatan itu toh tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
Kamuflase ini, izin Shara untuk membiarkan dirinya tersakiti lagi dan lagi akan membuat semua guratan menumpuk menjadi luka bernanah yang satu saat takkan mampu lagi terobati.

I just need you now
Oh baby, I need you now
(Need You Now – Lady Antebellum)


***