Re-post
...:: How To Love ::...
Part 15
Story by @BieberLSIndo
***
I never felt, nothing in the world like this before. Now I'm missing you and I'm wishing you would come back through my door.
***
- Shara's POV -
"Justin?" Seseorang menurunkan pandangan saat merasakan kepala Shara tak
lagi terbenam di dadanya. Ia tersenyum tipis, mengusap pelupuk mata
gadis yang sedari tadi masih dalam rengkuhannya.
"I think my mom hasn't changed my name becomes Justin..." ujarnya lagi.
Shara terbelalak, iya mengucak matanya beberapa kali, mencoba membius
sekelebat bayangan yg menghantui pikirannya. Kenapa yang dipikirnya
Justin yg datang merengkuhnya. Shara mencoba mengerjap matanya yang
sudah sedikit membengkak. Tiba tiba bayangan Justin yang terbenam
dimatanya berubah menjadi sosok lain yang lebih nyata.
"Shar?"
"Ha..em.. Ryan..." isak Shara pelan.
"If crying makes you feel better i'll say cry, take it out, But it's even better if i could stop you from doing this” ujar Ryan.
Shara terperanggah memandangi wajah pemuda tirus di hadapannya. Shara
mencari-cari dalam hati dan merasa ingin menangis lagi tapi ternyata
hatinya sudah tak peduli. Cuma ada satu nama yang meracuni setiap sel
tubuh Shara. Satu nama yang bahkan sudah tak lagi peduli padanya.
Sedangkan Ryan kini bisa melihat dedebuan kenangan itu berpusar disana,
memutuskan merasuki pori-pori kulit, meracuni pembuluh darah dan
mengontaminasi otak gadis yang baru ia lepaskan dari rengkuhannya. Tanpa
diberitahu, Ryan mengerti apa isi debu-debu itu. Memori getir. Yang
takkan menyerah untuk terus mengulangi dirinya, hingga gadis yang ia
susupi tak mampu lagi berdiri.
Pemuda itu mengusap-usap punggung Shara yang kini duduk di tepi bangku
di sebelahnya. Gadis itu masih bernafas susah payah. Tampak begitu lelah
setelah menghabisakn oksigen dalam paru-parunya utnuk melagukan tangis.
Ryan berharap dalam hati, semoga memori – memori jahat itu segera mati.
Atau gadis manis didekatnya ini akan terus memperpuruk keadaannya
sendiri.
Shara terceguk sesaat, berusaha melupakan hatinya yang sudah terserut
menjadi serpihan. Ia mengusap genangan air dipelupuk matanya dengan
tissu lalu menarik nafas dan tersedak. Entah sudah berapa lama ia
seperti ini. Terdiam. Terceguk. Menangis. Terdiam lagi. Terceguk lagi.
Menangis lagi. Bagai lingakaran yang tak pernah menemukan akhir. Gadis
itu mengangkat wajah, berusaha menghirup udara semampunya dan menggeleng
sendiri. Ternyata masih begitu banyak yang belum menggelegak keluar.
Masih ada ribuan tetesan yang siap ditampung bumi untuknya. Tiba-tiba
sepotong tangan memaksa dagu beserta seluruh kepalanya untuk menoleh.
Ryan. Tersenyum tipis ke arahnya seraya menyambar sehelai kertas tissue
baru. Pemuda itu menyibak poni Shara di atas kepala, menahannya disana
lalu menyeka air mata beserta sisa-sisa basah yang menjejak di seluruh
wajah gadis itu. Shara terdiam ketika merasakan saputan tissue di tangan
Ryan pada wajahnya. Dan saat pemuda itu mulai menjauhkan tangan, Shara
hanya dapat berucap lirih.
"Thanks..."
Lelaki itu membalas senyum lalu menepuk puncak kepala Shara.
“Never mind,” sahut Ryan pelan, lagi-lagi tersenyum lalu melepaskan
tangannya dari puncak kepala Shara, membuat gadis itu kembali menunduk
dalam-dalam.
Shara entah kenapa ikut tersenyum kecil, lalu terperanjat saat merasakan
Ryan menarik dagunya lagi. Pemuda itu mendesah kecil lalu memegangi
pipi gadis di hadapannya dengan kedua tangan. Dengan lembut, ia
menggerakkan pipi Shara sedemikian rupa hingga ujung-ujung bibir gadis
itu tertarik ke atas, membentuk senyuman yang disengaja.
Ryan berucap pelan,
“Smile, Because your beautiful. Laugh. Because your living life to the
fullest. Stand strong. Because he cant bring you down, i know you are
Shara, a strong girl”
Setelah itu Ryan melepasakan tangannya dari wajah Shara, berdiri dan sekali lagi mengusap rambut gadis itu.
"And if you need a shoulder to cry... i'll be your crying shoulder"
Sesaat Shara terperangah saat dilihatnya punggung Ryan menjauh.
***
biar aku sentuhmu berikanku rasa itu
pelukmu yang dulu pernah buatku
ku tak bisa paksamu tuk tinggal di sisiku
walau kau yang selalu sakiti aku dengan perbuatanmu
namun sudah kau pergilah jangan kau sesal
***
Hari yang sama. Ditempat yang sama. Rumah Sakit.
Shara tak ingin memulai dengan keadaan seperti ini. Setiap hari, prosesi
pembukaan mata dan penyadaran diri mulai menjadi hal yang ingin sekali
ia hindari. Karena saat kebenaran menyapa awal harinya, perut gadis itu
akan dikepaki perasaan tak nyaman. Menyadari genggaman dan dekapan
terakhir Justin itu hanya ada dalam angan. Kalau mencintai harus sesakit
ini, ia merasa lebih baik tak usah terjaga lagi. Biar dirinya mati
dalam mimpi. Dimana, paling tidak, ia bisa bersisian dengan pemuda yang
sudah terlalu ia sayangi. Tapi toh kali ini, Tuhan tak mau mengabulkan
harapan dangkalnya. Satu hari lagi harus ia jalani, entah akan diwarnai
kejutan dengan daya meledakkan macam apa yang lagi-lagi harus dijejalkan
ke genggamanannya.
Shara menghela nafas panjang ketika mematut dirinya dijendela.
Mempersiapkan diri. Mempersiapkan hati. Ia memgang jantungnya sendiri,
merapal sebuah lantunan harapan. Yang lalu ia sadar takkan jadi
kenyataan, gadis itu mengehmbuskan nafas lagi lalu memejamkan mata
hingga sebuah panggilan samar di belakangnya memaksanya mendengus.
Ia membalik tubuhnya. Terkejut mendapati seorang pemuda tegap berdiri disana.
“Dad?” tanyanya heran.
Ayahnya tersenyum tipis,
"Wanna go home?" yang lalu dijawab gadis di hadapannya dengan senyuman ragu.
“Cmon?” Ucap Wilson.
Shara terkesiap saat menyadari kemana ayahnya membawanya. Halaman depan.
Dimana sebuah sedan abu terparkir manis disana. Kendaraan andalan
Justin, selain Ranger Rovernya.
“Dad..” ujar Shara tercekat, menatap tak mengerti ke balik lensa Wilson.
Pemuda itu menggiring Shara, membukakan pintu penumpang di depan dan
menyuruh gadis itu duduk disana. Lalu ia memandangi gadis itu dengan
ekspresi tak tertebak.
“Kamu pulang sama Justin, ntr ketempat Justin dulu aja ya tunggu ayah
disana” ujar Wilson pelan, mengacak rambut Shara lalu menutup pintu
penumpang.
Shara tercengan sendiri, menatapi punggung Wilson dari balik kaca. Lalu
menatap ke depan dengan perasaan berkecamuk. Menunggu saat-saat
menyakitkan itu tiba.
***
- Justin's POV -
Entah kenapa Justin begitu membencinya. Hal yang teramat mengganggu,
membuatnya merasa harus mengingat sesuatu. Selalu sekelebat muncul lalu
menghilang. Selintas berlari lalu berhenti. Hal itu menyali otaknya, dan
selalu menjejakkan perasaan tak tenang dalam dirinya. Justin menatapi
langit-langit ruangan. Menyadari perasaan aneh itu seperti memiliki
frekuensi tersendiri. Saat malam ia berjaga di sebelah ranjang pasien
Selena, perasaan yang muncul tanpa permisi itu tak begitu menyiksa.
Karena ketika ia mengalihkan pandangan pada wajah Selena, kerisauan itu
lenyap dalam sekejap. Digantikan buncahan euphoria. Dan karena kini
disampingnya tak ada lagi gadis itu, hatinya yang menyebalkan kian
menjadi-jadi lalu tak bisa lagi dipungkiri hingga petang ini. perasaan
aneh ini mulai berulah dan bertambah kuat saat ia ingin pulang ke rumah.
Sekan memburu di tiap gurat dinding yang ia lewati. Memaksanya segera
menyadari apa yang tak ia peringati. Sekrusial itukah apa yang tak
diingatnya ini? Lalu jika begitu penting, kenapa otaknya tak bisa
berpikir. Pemuda itu mengulangi rutukan yang sama dalam hati. Lupa bahwa
otaknya sedang ditiupi hantu-hantu euphoria, yang terlalu riuh hingga
tak dapat ditembus memori hati kecilnya sendiri.
"Sel? Wanna go home?"
Gadis berambut ikal itu tersenyum dan membuat anggukan kecil.
Sambil membenahi dirinya, Justin memutuskan mengusir jauh-jauh perasaan
anehnya dengan menggandeng Selena yang akan diantar pulang hari ini,
namun tak lama pemuda itu mendesah lagi. Tak bisa. Gangguan itu tak mau
pergi.
Justin mendengus frustasi. Petang begini tempramennya tersulut karena
hal itu. Rutuknya lalu berjalan keluar kamar pasien sambil membanting
pintu dan menghentakkan kaki.
Justin menuruni tangga pelan pelang sambil tertawa sumbringgah dengan
gandengan manis gadis disebelahnya, lalu berjalan cepat ke lobby. Pemuda
itu hampir terjungkal saat perasaan aneh itu tiba-tiba mendebar lebih
keras tiba tiba Justin terkejut saat ia hampir menubruk seseorang yang
baru masuk dari pintu utama. Ryan.
“Hi dude! Where have you been?” Tanya Justin sekilas.
Ryan mengangkat alisnya,
"Me? You think?"
Justin mengangkat bahu.
“I don't know, so i will go home first okey?” Kata Justin sambil tersenyum lebar.
Ryan hanya diam dan memutuskan berlalu, berjalan membelakangi punggung Justin.
“By the way, here's Selena, do you remember her, dude??” Tanya Justin, memutar tubuhnya menghadap bagian belakang tubuh Ryan.
Tanpa berbalik, Ryan mendengus, berusaha tidak mengonfrontasi sahabatnya sendiri. Ia hanya berkata dengan nada menyindir
“I think I have to ask you...” pemuda itu memutar kepala, memandang
Justin dan Selena tajam dari balik punggungnya, tidak sadar juga bahwa
sikap tenang andalannya sudah menguap entah kemana.
“Do you remember...” lanjutnya menggantung, sesaat merasa tak sanggup
melanjutkan. Tanpa sadar ucapan Ryan membuat Justin dan Selena bingung
dan ikut mematung.
Ryan menggeleng jengkel lalu memutar kepalnya lagi ke depan, mengalihkan
pandangan dari Justin. Ia memejamkan mata sebentar lantas menarik nafas
panjang.
“Do you still remember about SHARA, YOUR GIRFRIEND?” kata Ryan mengakhiri ucapannya. Ia memutar tubuhnya menghadap Justin.
Telak. Tepat. Ryan membiarkan efek kata-kata terakhirnya menyundut utasan benang ingatan Justin.
Ah. Justin terperanjat. Menyadari perasaan tertohoknya baru saja
membesar, membengkak dan meledak. Pergi bersama untaian memori yang
datang mengganti. Pemuda itu membelalak ngeri. Jadi selama ini.. Astaga
..
Justin menelan ludah. Wajah sumringahnya menguar ke udara. Membuat Ryan dengan ketenangan semunya melipat tangan di depan dada.
“You forgot? Really? Its funny” ucap Ryan sambil mengangkat sebelah alisnya.
Justin mengerjap sekali, membuang pandangan kea rah Selena, disebelahnya yg menunduk menutupi letupan emosi.
Ryanhanya berdecak tak sabar lalu ngeloyor pergi sebelum Justin menjawab pertanyaannya. Malas nantinya pusing sendiri.
Dan sosok lainnya, Selena memandangi Justin yang masih terdiam seperti manusia lilin di museum Madamme Tussauds.
“Justin?”
Justin terkesiap, menahan nafas tanpa sebab lalu dengan bingung berjalan
ke luar pintu utama tanpa menggandeng Selena dan berjalan mendahului
Selena. Pemuda tampan itu berjalan dengan langkah serasa melayang.
Ditampari kesadaran yang kini menjegal tarikan udara memasuki
paru-parunya.
Ia tak menyangka yang dilupakannya selama ini … Bahkan kini Justin jadi
tak sanggup memikirkan namanya. Entah karena tak peduli atau tak
menyangka. Lalu dimana gadis itu sekarang ? pikirnya selintas, tak tahu
bahwa tiap inci langkahnya tengah menapaki apa yang tak sepenuh hati
dicarinya itu.
Justin melangkah menuju sedan abu yang terparkir rapi, membuka pintu
pengemudi lalu terhenyak saat menatap kilatan mata ragu yang menumbuk
miliknya sendiri.
***
karena ku sanggup walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu
aku mau kau tak usah ragu tinggalkan aku
kalau memang harus begitu
- Shara's POV -
Shara membuang muka. Akhirnya memusatkan pikiran secara sengaja pada
tuas gigi, menghitungi angka dan huruf kode aneh disana. Berusaha
mengalihkan pikiran dan berharap dirinya amnesia. Amnesia tentang
kejadian lima menit yang lalu saja pun taka pa. ia sama sekali tak ingin
mengingatnya. Gadis itu merasakan tubuhnya sedikit gemetar. Ia
ternyata, tanpa sadar mati-matian menahan kepedihan. Tapi kali ini akan
dibendungnya kepedihan itu. Ia tak mau kelihatan lemah. Paling tidak, di
depan Justin dan Selena.
Untuk keberapa kali pagi ini, Shara terkesiap. Justin masuk kembali ke
pintu pengemudi lalu diikuti Selena yang juga masuk ke bangku penumpang
di belakang.
Entah kenapa, Shara mengangkat wajah, menatap mata Justin yang mengeras
tiba-tiba. Ia menggigit bibir lagi, saat baru disadarinya pencair
tembaga itu tak lagi melelehkan namun menghanguskan dan mematikan.
Menyampaikan pesan bahwa tak ada seorangpun disini yang menginginkan
kehadiran Shara. Benalu yang tak dibutuhkan.
Bahasa tubuh Justin seakan menunggu dan Shara dapat membaca itu. Shara
membuang pandangannya ke depan, memejamkan mata sebentar lalu memutar
kepala ke belakang, menatap Selena dengan senyum yang dipaksakan,
"Sel, I think you better sit here, next to Justin” katanya lalu membuang muka dan melepas seatbelt.
Bisa dirasanya Selena terperanjat sesaat lalu didengarnya pula Justin ikut berkata pelan
“That's right Sel, here cmon sit next to me”
Shara tersenyum miris sendiri lalu membuka pintu dan keluar dari sana.
Merasakan bahwa sesungguhnya ia baru saja menyerah. Mengingkari janjinya
untuk berjuang yang padahal baru dibuatnya kurang dari sejam yang lalu.
Gadis itu melihat Selena juga keluar dari bangku belakang.
Tiba-tiba perasaan tak menyenangkan dari masing-masing gadis itu
menyeruak disana, meracuni udara hingga keduanya tak berani bertatapan
muka.
Shara membiarkan Selena masuk terlebih dulu ke bangku penumpang depan,
lalu entah kenapa Shara terdiam sendiri beberapa saat. Ia meremas
tangannya. Berharap semoga ia bisa berpura-pura lagi. Setidaknya
sepanjang perjalanan ini.
Gadis itu membuka pintu belakang lalu menghempaskan tubuh pada jok kulit
disana. Mendengar Justin dan Selena yang mulai larut dalam obrolan, ia
makin merasa tak diundang.
Gadis itu memutuskan menulikan telinga. Lalu menyibukkan diri dengan
menghituung berapa banyak jumlah ventilasi mungil pada mesin pendingin
tambahan di langit-langit mobil Justin, saat didengarnya kerenyahan tawa
Selena dan pemudanya membentuk harmonisasi merdu.
***
Tak berapa lama Shara menghentikan pikirannya saat merasakan mobil
Justin tak lagi menderu. Ia mengangkat wajah lalu terhenyak saat melihat
dimana Justin baru saja berhenti. Depan gerbang rumah Selena. Tentu
saja. Siapa lagi ? Pikir Shara sarkatis.
Shara menunduk dalam-dalam ketika didengarnya hela nafas berat Justin,
disambut bunti klakson yang susul-menyusul bebrepa kali. Shara sontak
memalingkan muka ke arah jok pengemudi saat mendengar bunyi ceklikan
pintu dari sana. Justin baru keluar dari mobil, berjalan menghampiri
Selena.
Shara tak tahu apa ynag menahannya untuk tetap menyaksikan teater yang
disuguhkan. Justin sepertinya benar-benar lupa bahwa ia juga ada disana.
Pemuda itu kembali dibutai euphoria. Gadis berambut panjang itu
menyaksikan segalanya dari balik kaca jendela. Ia menggigit bibir
kuat-kuat saat dilihatnya Justin mengacak rambut Selena, lalu mengusap
lengan gadis itu sambil mengucapkan sesuatu dan mencium kening Selena
dengan cepat.
Lalu Justin kembali memasuki kedalam mobil dan Shara mau tak mau harus pindah kembali kedepan, duduk disamping pemuda itu lagi.
Tak sengaja, Shara merasa waktu membekukan mereka. Saat tatapan matanya
beradu dengan pencair tembaga itu, segala hal fana di dunia seakan
berhenti setelahnya. Pandangan pertama setelah dua hari begitu panjang
yang telah terlewati. Membuat gadis itu ingin membekukan saat ini lalu
tak apa jika ia mati. Justin masih memegangi sisi pintu pengemudi,
karena sekila ia juga membeku, terdiam kaku. Tatapan nanr gadis itu
memaku lalu menghantamnya berulang-ulang. Menimbulkan perasaan tertohok
yang lebih memualkan ke permukaan.
Akhirnya, pemuda itulah yang memcahkan es beku waktu terlebih dulu. Ia
mengerjap lalu membuang tatapan kea rah setir tanpa sebab. Nafasnya
mengejang sesaat. Lalu tanpa melirik Shara, ia masuk dan menutup pintu
mobilnya. Menyisakan kesenyapan dalam mobil antara mereka dan udara.
Walau Justin lagi lagi bersikap gadisnya tak ada disana, entah karena
alasan apa. Justin menarik nafas, menyalakan starter mobil lalu tak lama
menggerakkan setir. Sesungguhnya, ia mati gaya. Tak tahu harus berbuat
apa. Banyak hal tiba-tiba mengaduk benaknya saat ini juga.
Sambar-menyambar. Shara. Selena. Shara. Selena.
Pemuda itu mencoba memutuskan dengan menyelami dasar otaknya, lupa bahwa
jairngan itu tenagh dikacaukan euphoria. Yang takkan dikalahkan apapun,
karena ini waktu puncaknya ia Berjaya. Justin tak mengerti bahwa hal
yang begitu kilat datang, secepat itu pula akan menghilang.
Untuk membunuh kebisuan waktu, pemuda itu memutuskan menyalakan radio.
Berharap sayupan intro lagu bisa memendam otaknya yang sedang riuh.
Justin mencuri pandang kearah Shara lewat sudut matanya, memperhatikan
gadis itu menghela nafas panjang kelewat lelah sambil memainkan ujung
jarinya gelisah. Sesaat, sesaat saja ada deburan kecil dalam dadanya.
Monster masa lalu, teman seperjuangannya saat berusaha menggapai gadis
ini sempat menggeliat, lalu dipaksanya untuk mati suri lagi. Dengan
sikap seenaknya, Justin seakan baru menyadari. Mungkin benar bahwa sudah
terlalu banyak pengorbanannya untuk Shara. Terlalu lama waktu yang
disia-siakannya utnuk gadis ini.
Justin tak sadar, bahwa sikap egois dan sok tahunya pada diri sendiri
itu terlampau menyakiti. Bagi sang gadis destinasi yang bahkan
sesungguhnya tak mendengar racauan otak pemuda itu tadi.
Sementara Shara menekan punggung tangan kanannya dengan telunjuk kiri,
ingin memastikan apa telunjuknya lalu akan menembus udara atau tidak.
Karena sepertinya, ia telah menjadi semacam bayangan transparan tak
terlihat di mata Justin.
Tidak tembus. Tentu saja. Mungkin ia menjadi hantu hanya di mata Justin. hantu pengganggu mungkin. Batinnya miris.
Entah untuk keberapa juta kali, ia menghela nafas. Shara bahkan tak
berani sekadar melirik pemuda di sebelahnya. Ia takut mendapati
penolakan terpancar di mata Justin dan dirinya pun merapuh lagi.
Ini bukan apa-apa kan? batinnya mencoba menguatkan diri sendiri dengan
rapalan mantra munafiknya yang biasa. Bukankah kamu sudah berkata asal
dia di sisimu saja tak apa ? Bahkan walau hanya sepotong raga, tanpa
jiwa, tanpa cinta.
Entah sayatan macam apa yang akan membuka dan menggarami lukanya lagi
nanti. Gadis itu tak berapa peduli. Pikirnya, yang penting Justin
disini, dalam interval beberapa inci. Walau Shara menyadari bahwa pemuda
itu telah membentang jarak sejauh matahari. Jarak yang sengaja direka
Justin agar gadis itu tak bisa mencapainya lagi.
Tapi Shara berjanji takkan menyerah hingga kesudahannya tiba. Angin
telah membisiki telinganya bahwa kiamat yang dikiranya ini bukan kiamat.
Hari-hari ini baru permulaan, yang akan menguras hatinya sedemikian
rupa hingga ia tak mampu lagi mengeluarkan air mata.
***
tak yakin ku kan mampu hapus rasa sakitku
ku selalu perjuangkan cinta kita namun apa salahku
hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu
***
Malam di hari yang sama, Shara terus terjaga. Ditunggunya seseorang yg
akan ditemuinya dirumah ini, di ruang tamu ini, ayahnya hingga larut
malam seperti ini tak kunjung menampakan diri, Saat dimana dirinya harus
memikirkan dan menelaah semua hal yang telah terjadi.
Ia memeluk kedua lutunya di pinggir sebuah sofa dikediaman pemudanya,
sambil meringis merasakan bibirnya yang luka. Sepanjang hari yg
menyakitkan ini. Shara menarik nafas dalam-dalam, mengusap bibirnya lalu
terus merenung hingga beberapa saat. lalu mulai menarik sebuah
keputusan. Ia memang tak tahu keputusan ini akan berdampak apa nantinya.
Tapi, yang ia reka, keberadaan status yang ada malah membebat dan
membuatnya tak bisa bergerak. Juga bagi Justin.
Tak ada gunanya juga ia terus menahan kepedihan itu dalam rengkuhnya.
Tak ada faedahnya mengharap sosok yang disayanginya itu untuk kembali.
Karena sosok itu sudah mati. Lalu apa lagi yang ia nantikan?
Shara menjulurkan kedua lutut yang tadi ditekuknya lalu bergerak untuk
berdiri. Ia menghela nafas panjang. Kalau memang harus berakhir, biarlah
ia menuntas segalanya sekarang juga.
Gadis itu melangkah dengan tatapan pasrah, mengendap dari ruang tamu yg
sunyi. Waktu yang hampir menunjukkan lewat tenha malam menghadirkan
kesunyian dan kegelapan mencekam di tiap sudut kediaman keluarga Bieber
yang dilewatinya. Ia berjingkat pelan, menaiki anak demi anak tangga,
menghitung detak yang tertinggal di belakang lalu menghilang. Dan tak
berapa lama, sampailah Shara di depan ruang eksekusi yang sama, Shara
menggerakkan tangan ke atas kenop pintu lalu menariknya lagi.
Ia memejamkan mata, meneguk ludah dan menarik nafas. Mengurangi prosesi
yang sama bebrapa kali untuk mempersiapkan diri. Tak lama ia
menghembuskan nafas lalu membuka mata. MemEgang kenop lagi lalu
memutarnya ke bawah.
Shara menahan sisi pintu yang berengsel dengan sebelah tangan, berusaha
mencegah decitan, lalu ia melongokkan kepala. Kamar Justin nampak
remang-remang. Pencahayaan seadanya hanya dihadirkan dari balkon dan
lampu meja yang terletak di nakas sebelah temapt tidur pemuda itu.
Shara berjingkat masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Ia mendesah
lega lalu memandang ke penjuru kamar Justin. Ia tersenyum miris.saat
memori-memori lama terpantul dari permukaan dinding dan beberapa benda.
Sesaat Shara merasa ingin membeli mesin waktu dan kembali ke masa itu,
lalu buru-buru menggeleng sendiri. Tak sepantasanya ia berimaji muluk
lagi. Tidak saat ini. Senyum mirisnya ikut memudar, terganti desah nafas
berat gadis itu.
Shara tahu bahwa setelah ini, setiap tarikan nafas adalah satu tarikan
nafas lagi mendekati kematian. Kematian hati. Dan ia tak peduli.
Gadis itu menaiki undakan menuju tempat tidur Justin lalu merasakan
nafasnya tercekat tanpa permisi. Ah, selimut bergambar sebuah regu sepak
bola, Chelsea yang bergerak naik-turun itu. Hal-hal kecil yang
terlampau signifikan dalam ingatannya. Shara mendesah, mengambil satu
langkah lagi, mendekati perwujudan keputusan pahit yang diambilnya
sendiri.
Dalam pantulan sinar kuning lampu meja, Shara bisa melihat tulang pipi
Justin bergerak seirama hembusan nafasnya. Gadis itu mendekat lalu
berlutut di dekat pemudanya. Shara metapai rakus-rakus tiap lekuk wajah
pemuda tampan di hadapannya, seakan besok ia akan buta.
Shara mendorong tubuhnya maju sesenti lagi lalu mengulurkan satu jemari
dan menelusuri udara di sekitar bingkai rahang Justin yang tengah
terlelap, tak berani menyentuhnya.
Shara mendekatkan bibirnya ke telinga Justin,
“Now... I'm afraid” bisiknya
“Either now that I love you... I'm afraid to lose you... Or you will let
me go... Go away from you and you let me to stop loving you...!”
Gadis itu menghentikan jemarinya, lalu memiringkan kepala dan terdiam sesaat. Tak lama ia menghembuskan nafas di telinga Justin.
“But now... You don't have to let me going from you first cos now... Now
You don't belong with me. You belong with HER because it makes you
happy. simple I will go.. I will...”
Shara terperanjat saat tiba-tiba Justin mengerjap, membuka mata dan
menatap nyalang ke arahnya. Gadis itu meneguk ludah, seperti maling yang
tertangkap basah. Ia ternganga sebentar, lalu mengatupkan mulutnya.
Shiara bergegas berdiri dan berniat pergi
“Justin...I'm so sorry” Ia berkata gugup, menunduk lalu membalikkan
badan ketika tiba-tiba Justin menyentak lengannya hingga lututnya
menubruk lantai. Bersimpuh lagi di dekat pemuda yang menatapnya dengan
sejuta arti.
Shara terhenyak saat tiba-tiba Justin memeluk punggungnya erat-erat
“Don't..” bisik Justin dari sela rambut Shara
“Don't..” katanya berulang.
Shara terdiam saat Justin mengelus rambutnya. Tercekat saat penciumannya membaui harum yang dirindukannya.
Justin membentang jarak sekilas. Dan Shara kembali terdiam saat menatap
nanar mata pemuda itu. pencair tembaga yang dulu, yang sama, bersinar
disana.
Lalu Justin mengusap tulang pipi Shara, seakan ada air mata tak terlihat
disana. Ia memeluk Shara lagi seperti anak kecil yang ketakutan sehabis
bermimpi buruk. Ia menghela nafas di telinga Shara.
"Don't go... Please wait for me.."
Dua kalimat singkat. Enam kata yang tak juga panjang itu akhirnya
menggoyahkan keputusan Shara. Mungkin juga karena harum yang telah
meracuni sel otaknya, Shara bisa mennagkap racauan tak jelas Justin
tadi. Pemuda. Itu. Masih. Menginginkannya. Tiba-tiba Shara merasa malu
sendiri telah berfikir untuk meyerah.
Saat Justin memohonnya untuk bertahan walau sudah ada Selena disana,
berari dirinya masih cukup berharga bukan ? Walau nantinya ia tidak
menjadi prioritas. Walau nantinya ia yang harus menjadi sephia, yang
kedua.
Shara tak menyadari bahwa hal ini akan menjadi bumerang bagi dirinya
nanti. Karena saat ia telah mengijinkan dirinya sendiri untuk disakiti.
Takkan ada yang patut disalahkan lagi. Shara ikut berbisik lirih
“Nevermind.... I will stay... I never go away from you”
Gadis itu membiarkan Justin mengusap kepalanya sekali lagi lalu
menghantar pemuda itu hingga terlelap dan mengecup kening Justin untuk
menghantar pemuda itu kealam sadarnya. Akhirnya, keputusan awalnya
tertelan tanpa sempat terucapkan. Tenggelam di balik pintu jati yang
baru ia tinggalkan.
***
tak yakin ku kan mampu hapus rasa sakitku
ku selalu perjuangkan cinta kita namun apa salahku
hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu
(Agnes Monica-Karena Ku Sanggup)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar