Senin, 28 Januari 2013

How To Love - Part 15

Re-post 
...:: How To Love ::... 
Part 15

Story by @BieberLSIndo


***


I never felt, nothing in the world like this before. Now I'm missing you and I'm wishing you would come back through my door.

***

- Shara's POV -

"Justin?" Seseorang menurunkan pandangan saat merasakan kepala Shara tak lagi terbenam di dadanya. Ia tersenyum tipis, mengusap pelupuk mata gadis yang sedari tadi masih dalam rengkuhannya.
"I think my mom hasn't changed my name becomes Justin..." ujarnya lagi.
Shara terbelalak, iya mengucak matanya beberapa kali, mencoba membius sekelebat bayangan yg menghantui pikirannya. Kenapa yang dipikirnya Justin yg datang merengkuhnya. Shara mencoba mengerjap matanya yang sudah sedikit membengkak. Tiba tiba bayangan Justin yang terbenam dimatanya berubah menjadi sosok lain yang lebih nyata.
"Shar?"
"Ha..em.. Ryan..." isak Shara pelan.
"If crying makes you feel better i'll say cry, take it out, But it's even better if i could stop you from doing this” ujar Ryan.
Shara terperanggah memandangi wajah pemuda tirus di hadapannya. Shara mencari-cari dalam hati dan merasa ingin menangis lagi tapi ternyata hatinya sudah tak peduli. Cuma ada satu nama yang meracuni setiap sel tubuh Shara. Satu nama yang bahkan sudah tak lagi peduli padanya.
Sedangkan Ryan kini bisa melihat dedebuan kenangan itu berpusar disana, memutuskan merasuki pori-pori kulit, meracuni pembuluh darah dan mengontaminasi otak gadis yang baru ia lepaskan dari rengkuhannya. Tanpa diberitahu, Ryan mengerti apa isi debu-debu itu. Memori getir. Yang takkan menyerah untuk terus mengulangi dirinya, hingga gadis yang ia susupi tak mampu lagi berdiri.
Pemuda itu mengusap-usap punggung Shara yang kini duduk di tepi bangku di sebelahnya. Gadis itu masih bernafas susah payah. Tampak begitu lelah setelah menghabisakn oksigen dalam paru-parunya utnuk melagukan tangis. Ryan berharap dalam hati, semoga memori – memori jahat itu segera mati. Atau gadis manis didekatnya ini akan terus memperpuruk keadaannya sendiri.
Shara terceguk sesaat, berusaha melupakan hatinya yang sudah terserut menjadi serpihan. Ia mengusap genangan air dipelupuk matanya dengan tissu lalu menarik nafas dan tersedak. Entah sudah berapa lama ia seperti ini. Terdiam. Terceguk. Menangis. Terdiam lagi. Terceguk lagi. Menangis lagi. Bagai lingakaran yang tak pernah menemukan akhir. Gadis itu mengangkat wajah, berusaha menghirup udara semampunya dan menggeleng sendiri. Ternyata masih begitu banyak yang belum menggelegak keluar. Masih ada ribuan tetesan yang siap ditampung bumi untuknya. Tiba-tiba sepotong tangan memaksa dagu beserta seluruh kepalanya untuk menoleh. Ryan. Tersenyum tipis ke arahnya seraya menyambar sehelai kertas tissue baru. Pemuda itu menyibak poni Shara di atas kepala, menahannya disana lalu menyeka air mata beserta sisa-sisa basah yang menjejak di seluruh wajah gadis itu. Shara terdiam ketika merasakan saputan tissue di tangan Ryan pada wajahnya. Dan saat pemuda itu mulai menjauhkan tangan, Shara hanya dapat berucap lirih.
"Thanks..."
Lelaki itu membalas senyum lalu menepuk puncak kepala Shara.
“Never mind,” sahut Ryan pelan, lagi-lagi tersenyum lalu melepaskan tangannya dari puncak kepala Shara, membuat gadis itu kembali menunduk dalam-dalam.
Shara entah kenapa ikut tersenyum kecil, lalu terperanjat saat merasakan Ryan menarik dagunya lagi. Pemuda itu mendesah kecil lalu memegangi pipi gadis di hadapannya dengan kedua tangan. Dengan lembut, ia menggerakkan pipi Shara sedemikian rupa hingga ujung-ujung bibir gadis itu tertarik ke atas, membentuk senyuman yang disengaja.
Ryan berucap pelan,
“Smile, Because your beautiful. Laugh. Because your living life to the fullest. Stand strong. Because he cant bring you down, i know you are Shara, a strong girl”
Setelah itu Ryan melepasakan tangannya dari wajah Shara, berdiri dan sekali lagi mengusap rambut gadis itu.
"And if you need a shoulder to cry... i'll be your crying shoulder"
Sesaat Shara terperangah saat dilihatnya punggung Ryan menjauh.

***

biar aku sentuhmu berikanku rasa itu
pelukmu yang dulu pernah buatku
ku tak bisa paksamu tuk tinggal di sisiku
walau kau yang selalu sakiti aku dengan perbuatanmu
namun sudah kau pergilah jangan kau sesal

***

Hari yang sama. Ditempat yang sama. Rumah Sakit.
Shara tak ingin memulai dengan keadaan seperti ini. Setiap hari, prosesi pembukaan mata dan penyadaran diri mulai menjadi hal yang ingin sekali ia hindari. Karena saat kebenaran menyapa awal harinya, perut gadis itu akan dikepaki perasaan tak nyaman. Menyadari genggaman dan dekapan terakhir Justin itu hanya ada dalam angan. Kalau mencintai harus sesakit ini, ia merasa lebih baik tak usah terjaga lagi. Biar dirinya mati dalam mimpi. Dimana, paling tidak, ia bisa bersisian dengan pemuda yang sudah terlalu ia sayangi. Tapi toh kali ini, Tuhan tak mau mengabulkan harapan dangkalnya. Satu hari lagi harus ia jalani, entah akan diwarnai kejutan dengan daya meledakkan macam apa yang lagi-lagi harus dijejalkan ke genggamanannya.
Shara menghela nafas panjang ketika mematut dirinya dijendela. Mempersiapkan diri. Mempersiapkan hati. Ia memgang jantungnya sendiri, merapal sebuah lantunan harapan. Yang lalu ia sadar takkan jadi kenyataan, gadis itu mengehmbuskan nafas lagi lalu memejamkan mata hingga sebuah panggilan samar di belakangnya memaksanya mendengus.
Ia membalik tubuhnya. Terkejut mendapati seorang pemuda tegap berdiri disana.
“Dad?” tanyanya heran.
Ayahnya tersenyum tipis,
"Wanna go home?" yang lalu dijawab gadis di hadapannya dengan senyuman ragu.
“Cmon?” Ucap Wilson.
Shara terkesiap saat menyadari kemana ayahnya membawanya. Halaman depan. Dimana sebuah sedan abu terparkir manis disana. Kendaraan andalan Justin, selain Ranger Rovernya.
“Dad..” ujar Shara tercekat, menatap tak mengerti ke balik lensa Wilson.
Pemuda itu menggiring Shara, membukakan pintu penumpang di depan dan menyuruh gadis itu duduk disana. Lalu ia memandangi gadis itu dengan ekspresi tak tertebak.
“Kamu pulang sama Justin, ntr ketempat Justin dulu aja ya tunggu ayah disana” ujar Wilson pelan, mengacak rambut Shara lalu menutup pintu penumpang.
Shara tercengan sendiri, menatapi punggung Wilson dari balik kaca. Lalu menatap ke depan dengan perasaan berkecamuk. Menunggu saat-saat menyakitkan itu tiba.

***

- Justin's POV -

Entah kenapa Justin begitu membencinya. Hal yang teramat mengganggu, membuatnya merasa harus mengingat sesuatu. Selalu sekelebat muncul lalu menghilang. Selintas berlari lalu berhenti. Hal itu menyali otaknya, dan selalu menjejakkan perasaan tak tenang dalam dirinya. Justin menatapi langit-langit ruangan. Menyadari perasaan aneh itu seperti memiliki frekuensi tersendiri. Saat malam ia berjaga di sebelah ranjang pasien Selena, perasaan yang muncul tanpa permisi itu tak begitu menyiksa. Karena ketika ia mengalihkan pandangan pada wajah Selena, kerisauan itu lenyap dalam sekejap. Digantikan buncahan euphoria. Dan karena kini disampingnya tak ada lagi gadis itu, hatinya yang menyebalkan kian menjadi-jadi lalu tak bisa lagi dipungkiri hingga petang ini. perasaan aneh ini mulai berulah dan bertambah kuat saat ia ingin pulang ke rumah. Sekan memburu di tiap gurat dinding yang ia lewati. Memaksanya segera menyadari apa yang tak ia peringati. Sekrusial itukah apa yang tak diingatnya ini? Lalu jika begitu penting, kenapa otaknya tak bisa berpikir. Pemuda itu mengulangi rutukan yang sama dalam hati. Lupa bahwa otaknya sedang ditiupi hantu-hantu euphoria, yang terlalu riuh hingga tak dapat ditembus memori hati kecilnya sendiri.
"Sel? Wanna go home?"
Gadis berambut ikal itu tersenyum dan membuat anggukan kecil.
Sambil membenahi dirinya, Justin memutuskan mengusir jauh-jauh perasaan anehnya dengan menggandeng Selena yang akan diantar pulang hari ini, namun tak lama pemuda itu mendesah lagi. Tak bisa. Gangguan itu tak mau pergi.
Justin mendengus frustasi. Petang begini tempramennya tersulut karena hal itu. Rutuknya lalu berjalan keluar kamar pasien sambil membanting pintu dan menghentakkan kaki.
Justin menuruni tangga pelan pelang sambil tertawa sumbringgah dengan gandengan manis gadis disebelahnya, lalu berjalan cepat ke lobby. Pemuda itu hampir terjungkal saat perasaan aneh itu tiba-tiba mendebar lebih keras tiba tiba Justin terkejut saat ia hampir menubruk seseorang yang baru masuk dari pintu utama. Ryan.
“Hi dude! Where have you been?” Tanya Justin sekilas.
Ryan mengangkat alisnya,
"Me? You think?"
Justin mengangkat bahu.
“I don't know, so i will go home first okey?” Kata Justin sambil tersenyum lebar.
Ryan hanya diam dan memutuskan berlalu, berjalan membelakangi punggung Justin.
“By the way, here's Selena, do you remember her, dude??” Tanya Justin, memutar tubuhnya menghadap bagian belakang tubuh Ryan.
Tanpa berbalik, Ryan mendengus, berusaha tidak mengonfrontasi sahabatnya sendiri. Ia hanya berkata dengan nada menyindir
“I think I have to ask you...” pemuda itu memutar kepala, memandang Justin dan Selena tajam dari balik punggungnya, tidak sadar juga bahwa sikap tenang andalannya sudah menguap entah kemana.
“Do you remember...” lanjutnya menggantung, sesaat merasa tak sanggup melanjutkan. Tanpa sadar ucapan Ryan membuat Justin dan Selena bingung dan ikut mematung.
Ryan menggeleng jengkel lalu memutar kepalnya lagi ke depan, mengalihkan pandangan dari Justin. Ia memejamkan mata sebentar lantas menarik nafas panjang.
“Do you still remember about SHARA, YOUR GIRFRIEND?” kata Ryan mengakhiri ucapannya. Ia memutar tubuhnya menghadap Justin.
Telak. Tepat. Ryan membiarkan efek kata-kata terakhirnya menyundut utasan benang ingatan Justin.
Ah. Justin terperanjat. Menyadari perasaan tertohoknya baru saja membesar, membengkak dan meledak. Pergi bersama untaian memori yang datang mengganti. Pemuda itu membelalak ngeri. Jadi selama ini.. Astaga ..
Justin menelan ludah. Wajah sumringahnya menguar ke udara. Membuat Ryan dengan ketenangan semunya melipat tangan di depan dada.
“You forgot? Really? Its funny” ucap Ryan sambil mengangkat sebelah alisnya.
Justin mengerjap sekali, membuang pandangan kea rah Selena, disebelahnya yg menunduk menutupi letupan emosi.
Ryanhanya berdecak tak sabar lalu ngeloyor pergi sebelum Justin menjawab pertanyaannya. Malas nantinya pusing sendiri.
Dan sosok lainnya, Selena memandangi Justin yang masih terdiam seperti manusia lilin di museum Madamme Tussauds.
“Justin?”
Justin terkesiap, menahan nafas tanpa sebab lalu dengan bingung berjalan ke luar pintu utama tanpa menggandeng Selena dan berjalan mendahului Selena. Pemuda tampan itu berjalan dengan langkah serasa melayang. Ditampari kesadaran yang kini menjegal tarikan udara memasuki paru-parunya.
Ia tak menyangka yang dilupakannya selama ini … Bahkan kini Justin jadi tak sanggup memikirkan namanya. Entah karena tak peduli atau tak menyangka. Lalu dimana gadis itu sekarang ? pikirnya selintas, tak tahu bahwa tiap inci langkahnya tengah menapaki apa yang tak sepenuh hati dicarinya itu.
Justin melangkah menuju sedan abu yang terparkir rapi, membuka pintu pengemudi lalu terhenyak saat menatap kilatan mata ragu yang menumbuk miliknya sendiri.

***

karena ku sanggup walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu
aku mau kau tak usah ragu tinggalkan aku
kalau memang harus begitu

- Shara's POV -

Shara membuang muka. Akhirnya memusatkan pikiran secara sengaja pada tuas gigi, menghitungi angka dan huruf kode aneh disana. Berusaha mengalihkan pikiran dan berharap dirinya amnesia. Amnesia tentang kejadian lima menit yang lalu saja pun taka pa. ia sama sekali tak ingin mengingatnya. Gadis itu merasakan tubuhnya sedikit gemetar. Ia ternyata, tanpa sadar mati-matian menahan kepedihan. Tapi kali ini akan dibendungnya kepedihan itu. Ia tak mau kelihatan lemah. Paling tidak, di depan Justin dan Selena.
Untuk keberapa kali pagi ini, Shara terkesiap. Justin masuk kembali ke pintu pengemudi lalu diikuti Selena yang juga masuk ke bangku penumpang di belakang.
Entah kenapa, Shara mengangkat wajah, menatap mata Justin yang mengeras tiba-tiba. Ia menggigit bibir lagi, saat baru disadarinya pencair tembaga itu tak lagi melelehkan namun menghanguskan dan mematikan. Menyampaikan pesan bahwa tak ada seorangpun disini yang menginginkan kehadiran Shara. Benalu yang tak dibutuhkan.
Bahasa tubuh Justin seakan menunggu dan Shara dapat membaca itu. Shara membuang pandangannya ke depan, memejamkan mata sebentar lalu memutar kepala ke belakang, menatap Selena dengan senyum yang dipaksakan,
"Sel, I think you better sit here, next to Justin” katanya lalu membuang muka dan melepas seatbelt.
Bisa dirasanya Selena terperanjat sesaat lalu didengarnya pula Justin ikut berkata pelan
“That's right Sel, here cmon sit next to me”
Shara tersenyum miris sendiri lalu membuka pintu dan keluar dari sana. Merasakan bahwa sesungguhnya ia baru saja menyerah. Mengingkari janjinya untuk berjuang yang padahal baru dibuatnya kurang dari sejam yang lalu. Gadis itu melihat Selena juga keluar dari bangku belakang.
Tiba-tiba perasaan tak menyenangkan dari masing-masing gadis itu menyeruak disana, meracuni udara hingga keduanya tak berani bertatapan muka.
Shara membiarkan Selena masuk terlebih dulu ke bangku penumpang depan, lalu entah kenapa Shara terdiam sendiri beberapa saat. Ia meremas tangannya. Berharap semoga ia bisa berpura-pura lagi. Setidaknya sepanjang perjalanan ini.
Gadis itu membuka pintu belakang lalu menghempaskan tubuh pada jok kulit disana. Mendengar Justin dan Selena yang mulai larut dalam obrolan, ia makin merasa tak diundang.
Gadis itu memutuskan menulikan telinga. Lalu menyibukkan diri dengan menghituung berapa banyak jumlah ventilasi mungil pada mesin pendingin tambahan di langit-langit mobil Justin, saat didengarnya kerenyahan tawa Selena dan pemudanya membentuk harmonisasi merdu.

***

Tak berapa lama Shara menghentikan pikirannya saat merasakan mobil Justin tak lagi menderu. Ia mengangkat wajah lalu terhenyak saat melihat dimana Justin baru saja berhenti. Depan gerbang rumah Selena. Tentu saja. Siapa lagi ? Pikir Shara sarkatis.
Shara menunduk dalam-dalam ketika didengarnya hela nafas berat Justin, disambut bunti klakson yang susul-menyusul bebrepa kali. Shara sontak memalingkan muka ke arah jok pengemudi saat mendengar bunyi ceklikan pintu dari sana. Justin baru keluar dari mobil, berjalan menghampiri Selena.
Shara tak tahu apa ynag menahannya untuk tetap menyaksikan teater yang disuguhkan. Justin sepertinya benar-benar lupa bahwa ia juga ada disana. Pemuda itu kembali dibutai euphoria. Gadis berambut panjang itu menyaksikan segalanya dari balik kaca jendela. Ia menggigit bibir kuat-kuat saat dilihatnya Justin mengacak rambut Selena, lalu mengusap lengan gadis itu sambil mengucapkan sesuatu dan mencium kening Selena dengan cepat.
Lalu Justin kembali memasuki kedalam mobil dan Shara mau tak mau harus pindah kembali kedepan, duduk disamping pemuda itu lagi.
Tak sengaja, Shara merasa waktu membekukan mereka. Saat tatapan matanya beradu dengan pencair tembaga itu, segala hal fana di dunia seakan berhenti setelahnya. Pandangan pertama setelah dua hari begitu panjang yang telah terlewati. Membuat gadis itu ingin membekukan saat ini lalu tak apa jika ia mati. Justin masih memegangi sisi pintu pengemudi, karena sekila ia juga membeku, terdiam kaku. Tatapan nanr gadis itu memaku lalu menghantamnya berulang-ulang. Menimbulkan perasaan tertohok yang lebih memualkan ke permukaan.
Akhirnya, pemuda itulah yang memcahkan es beku waktu terlebih dulu. Ia mengerjap lalu membuang tatapan kea rah setir tanpa sebab. Nafasnya mengejang sesaat. Lalu tanpa melirik Shara, ia masuk dan menutup pintu mobilnya. Menyisakan kesenyapan dalam mobil antara mereka dan udara. Walau Justin lagi lagi bersikap gadisnya tak ada disana, entah karena alasan apa. Justin menarik nafas, menyalakan starter mobil lalu tak lama menggerakkan setir. Sesungguhnya, ia mati gaya. Tak tahu harus berbuat apa. Banyak hal tiba-tiba mengaduk benaknya saat ini juga. Sambar-menyambar. Shara. Selena. Shara. Selena.
Pemuda itu mencoba memutuskan dengan menyelami dasar otaknya, lupa bahwa jairngan itu tenagh dikacaukan euphoria. Yang takkan dikalahkan apapun, karena ini waktu puncaknya ia Berjaya. Justin tak mengerti bahwa hal yang begitu kilat datang, secepat itu pula akan menghilang.
Untuk membunuh kebisuan waktu, pemuda itu memutuskan menyalakan radio. Berharap sayupan intro lagu bisa memendam otaknya yang sedang riuh.
Justin mencuri pandang kearah Shara lewat sudut matanya, memperhatikan gadis itu menghela nafas panjang kelewat lelah sambil memainkan ujung jarinya gelisah. Sesaat, sesaat saja ada deburan kecil dalam dadanya. Monster masa lalu, teman seperjuangannya saat berusaha menggapai gadis ini sempat menggeliat, lalu dipaksanya untuk mati suri lagi. Dengan sikap seenaknya, Justin seakan baru menyadari. Mungkin benar bahwa sudah terlalu banyak pengorbanannya untuk Shara. Terlalu lama waktu yang disia-siakannya utnuk gadis ini.
Justin tak sadar, bahwa sikap egois dan sok tahunya pada diri sendiri itu terlampau menyakiti. Bagi sang gadis destinasi yang bahkan sesungguhnya tak mendengar racauan otak pemuda itu tadi.
Sementara Shara menekan punggung tangan kanannya dengan telunjuk kiri, ingin memastikan apa telunjuknya lalu akan menembus udara atau tidak. Karena sepertinya, ia telah menjadi semacam bayangan transparan tak terlihat di mata Justin.
Tidak tembus. Tentu saja. Mungkin ia menjadi hantu hanya di mata Justin. hantu pengganggu mungkin. Batinnya miris.
Entah untuk keberapa juta kali, ia menghela nafas. Shara bahkan tak berani sekadar melirik pemuda di sebelahnya. Ia takut mendapati penolakan terpancar di mata Justin dan dirinya pun merapuh lagi.
Ini bukan apa-apa kan? batinnya mencoba menguatkan diri sendiri dengan rapalan mantra munafiknya yang biasa. Bukankah kamu sudah berkata asal dia di sisimu saja tak apa ? Bahkan walau hanya sepotong raga, tanpa jiwa, tanpa cinta.
Entah sayatan macam apa yang akan membuka dan menggarami lukanya lagi nanti. Gadis itu tak berapa peduli. Pikirnya, yang penting Justin disini, dalam interval beberapa inci. Walau Shara menyadari bahwa pemuda itu telah membentang jarak sejauh matahari. Jarak yang sengaja direka Justin agar gadis itu tak bisa mencapainya lagi.
Tapi Shara berjanji takkan menyerah hingga kesudahannya tiba. Angin telah membisiki telinganya bahwa kiamat yang dikiranya ini bukan kiamat. Hari-hari ini baru permulaan, yang akan menguras hatinya sedemikian rupa hingga ia tak mampu lagi mengeluarkan air mata.

***

tak yakin ku kan mampu hapus rasa sakitku
ku selalu perjuangkan cinta kita namun apa salahku
hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu

***

Malam di hari yang sama, Shara terus terjaga. Ditunggunya seseorang yg akan ditemuinya dirumah ini, di ruang tamu ini, ayahnya hingga larut malam seperti ini tak kunjung menampakan diri, Saat dimana dirinya harus memikirkan dan menelaah semua hal yang telah terjadi.
Ia memeluk kedua lutunya di pinggir sebuah sofa dikediaman pemudanya, sambil meringis merasakan bibirnya yang luka. Sepanjang hari yg menyakitkan ini. Shara menarik nafas dalam-dalam, mengusap bibirnya lalu terus merenung hingga beberapa saat. lalu mulai menarik sebuah keputusan. Ia memang tak tahu keputusan ini akan berdampak apa nantinya. Tapi, yang ia reka, keberadaan status yang ada malah membebat dan membuatnya tak bisa bergerak. Juga bagi Justin.
Tak ada gunanya juga ia terus menahan kepedihan itu dalam rengkuhnya. Tak ada faedahnya mengharap sosok yang disayanginya itu untuk kembali. Karena sosok itu sudah mati. Lalu apa lagi yang ia nantikan?
Shara menjulurkan kedua lutut yang tadi ditekuknya lalu bergerak untuk berdiri. Ia menghela nafas panjang. Kalau memang harus berakhir, biarlah ia menuntas segalanya sekarang juga.
Gadis itu melangkah dengan tatapan pasrah, mengendap dari ruang tamu yg sunyi. Waktu yang hampir menunjukkan lewat tenha malam menghadirkan kesunyian dan kegelapan mencekam di tiap sudut kediaman keluarga Bieber yang dilewatinya. Ia berjingkat pelan, menaiki anak demi anak tangga, menghitung detak yang tertinggal di belakang lalu menghilang. Dan tak berapa lama, sampailah Shara di depan ruang eksekusi yang sama, Shara menggerakkan tangan ke atas kenop pintu lalu menariknya lagi.
Ia memejamkan mata, meneguk ludah dan menarik nafas. Mengurangi prosesi yang sama bebrapa kali untuk mempersiapkan diri. Tak lama ia menghembuskan nafas lalu membuka mata. MemEgang kenop lagi lalu memutarnya ke bawah.
Shara menahan sisi pintu yang berengsel dengan sebelah tangan, berusaha mencegah decitan, lalu ia melongokkan kepala. Kamar Justin nampak remang-remang. Pencahayaan seadanya hanya dihadirkan dari balkon dan lampu meja yang terletak di nakas sebelah temapt tidur pemuda itu.
Shara berjingkat masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Ia mendesah lega lalu memandang ke penjuru kamar Justin. Ia tersenyum miris.saat memori-memori lama terpantul dari permukaan dinding dan beberapa benda.
Sesaat Shara merasa ingin membeli mesin waktu dan kembali ke masa itu, lalu buru-buru menggeleng sendiri. Tak sepantasanya ia berimaji muluk lagi. Tidak saat ini. Senyum mirisnya ikut memudar, terganti desah nafas berat gadis itu.
Shara tahu bahwa setelah ini, setiap tarikan nafas adalah satu tarikan nafas lagi mendekati kematian. Kematian hati. Dan ia tak peduli.
Gadis itu menaiki undakan menuju tempat tidur Justin lalu merasakan nafasnya tercekat tanpa permisi. Ah, selimut bergambar sebuah regu sepak bola, Chelsea yang bergerak naik-turun itu. Hal-hal kecil yang terlampau signifikan dalam ingatannya. Shara mendesah, mengambil satu langkah lagi, mendekati perwujudan keputusan pahit yang diambilnya sendiri.
Dalam pantulan sinar kuning lampu meja, Shara bisa melihat tulang pipi Justin bergerak seirama hembusan nafasnya. Gadis itu mendekat lalu berlutut di dekat pemudanya. Shara metapai rakus-rakus tiap lekuk wajah pemuda tampan di hadapannya, seakan besok ia akan buta.
Shara mendorong tubuhnya maju sesenti lagi lalu mengulurkan satu jemari dan menelusuri udara di sekitar bingkai rahang Justin yang tengah terlelap, tak berani menyentuhnya.
Shara mendekatkan bibirnya ke telinga Justin,
“Now... I'm afraid” bisiknya
“Either now that I love you... I'm afraid to lose you... Or you will let me go... Go away from you and you let me to stop loving you...!”
Gadis itu menghentikan jemarinya, lalu memiringkan kepala dan terdiam sesaat. Tak lama ia menghembuskan nafas di telinga Justin.
“But now... You don't have to let me going from you first cos now... Now You don't belong with me. You belong with HER because it makes you happy. simple I will go.. I will...”
Shara terperanjat saat tiba-tiba Justin mengerjap, membuka mata dan menatap nyalang ke arahnya. Gadis itu meneguk ludah, seperti maling yang tertangkap basah. Ia ternganga sebentar, lalu mengatupkan mulutnya.
Shiara bergegas berdiri dan berniat pergi
“Justin...I'm so sorry” Ia berkata gugup, menunduk lalu membalikkan badan ketika tiba-tiba Justin menyentak lengannya hingga lututnya menubruk lantai. Bersimpuh lagi di dekat pemuda yang menatapnya dengan sejuta arti.
Shara terhenyak saat tiba-tiba Justin memeluk punggungnya erat-erat
“Don't..” bisik Justin dari sela rambut Shara
“Don't..” katanya berulang.
Shara terdiam saat Justin mengelus rambutnya. Tercekat saat penciumannya membaui harum yang dirindukannya.
Justin membentang jarak sekilas. Dan Shara kembali terdiam saat menatap nanar mata pemuda itu. pencair tembaga yang dulu, yang sama, bersinar disana.
Lalu Justin mengusap tulang pipi Shara, seakan ada air mata tak terlihat disana. Ia memeluk Shara lagi seperti anak kecil yang ketakutan sehabis bermimpi buruk. Ia menghela nafas di telinga Shara.
"Don't go... Please wait for me.."
Dua kalimat singkat. Enam kata yang tak juga panjang itu akhirnya menggoyahkan keputusan Shara. Mungkin juga karena harum yang telah meracuni sel otaknya, Shara bisa mennagkap racauan tak jelas Justin tadi. Pemuda. Itu. Masih. Menginginkannya. Tiba-tiba Shara merasa malu sendiri telah berfikir untuk meyerah.
Saat Justin memohonnya untuk bertahan walau sudah ada Selena disana, berari dirinya masih cukup berharga bukan ? Walau nantinya ia tidak menjadi prioritas. Walau nantinya ia yang harus menjadi sephia, yang kedua.
Shara tak menyadari bahwa hal ini akan menjadi bumerang bagi dirinya nanti. Karena saat ia telah mengijinkan dirinya sendiri untuk disakiti. Takkan ada yang patut disalahkan lagi. Shara ikut berbisik lirih
“Nevermind.... I will stay... I never go away from you”
Gadis itu membiarkan Justin mengusap kepalanya sekali lagi lalu menghantar pemuda itu hingga terlelap dan mengecup kening Justin untuk menghantar pemuda itu kealam sadarnya. Akhirnya, keputusan awalnya tertelan tanpa sempat terucapkan. Tenggelam di balik pintu jati yang baru ia tinggalkan.

***

tak yakin ku kan mampu hapus rasa sakitku
ku selalu perjuangkan cinta kita namun apa salahku
hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu
(Agnes Monica-Karena Ku Sanggup)


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar