Senin, 28 Januari 2013

How To Love - Part 13

Re-post 
...:: How To Love ::... 
Part 13

Story by @BieberLSIndo


***


Pernahkah kau merasa
Jarak antara kita
Kini semakin terasa
Setelah kau kenal dia

- Shara's POV -

Udara cukup dingin, sinar bola pedar yang bertugas sebagai pusat tata surya sepertinya tidak cukup menghangatkan, ditambah alat elektronik disetiap sudut kelas yang memberi aroma lebih dingin didalam ruangan menambah udara siang itu terasa lebih menggigil.
Shara, tangan gadis ini sedari tadi hanya memutar mutar sebuah pena mungil berwarna merahnya di atas tapak meja kelasnya, sedangkan tangan lainnya menopang dagu gadis malas, sedangkan alat indera lainnya sepertinya sudah mati dimakan kebosanan. Setiap menit terasa seperti bertahun tahun lamanya saat sebuah pelajaran telah dikobarkan oleh Mr. Ian dari depan papan tulisnya.
Dua hari ini, aktivitas membosankan itu sudah mulai kembali, sekolah sekolah sekolah, semenjak liburan musim panas dan kepulangannya dari Paris, Shara pun berusaha untuk menyibukan dirinya sampai ia lupa harus berkomunikasi dengan Justin, begitu pula dengan kabar kabar tentang hubungan mereka dan Selena yg mulai mengangsur dari beberapa media. Shara tau sudah beberapa hari belakangan ini, Justin tengah menjalani duet mautnya bersama Selena dibeberapa panggung, namun Shara tak terbesit rasa apapun karena satu kata... "Percaya".
bukankah kepercayaan itu kunci utama dalam setiap hubungan?

Drrrt... Drrrt...

Bunyi getar handphonenya berhasil membuyarkan isi lamunannya.

From: Daddy<3
Kamu ntr pulang sama Justin, dia nanti jemput abis itu ikut aja ke studio dulu, oke darl?

Sejenak meresapi setiap kata dari pesan itu, setelahnya ia langsung menyimpan handphonenya tanpa membalasnya, melirik jam tangannya dan bergumam "10 menit lagi...."

***

"KRRRRIIIING!"
Bunyi yang dinantikan seluruh warga sekolah akhirnya mengobarkan dengan rasa semangat. Tepat saat bunyi itu, Shara langsung bergegas keluar kelas menuju gerbang sekolah berjingjingan dengan Agatha disebelahnya.
Dari pandangan yang sudah cukup jauh, mobil batman abu-abu milik punjangga hatinya sudah terparkir manis menunggu kedatangnnya.
"Agatha, me first... See ya tomorrow, byeee"
"Byeee shara!"
Setelah melambai tangan kecil, Shara langsung kembali berjalan, dan menghentikan langkahnya tepat saat dirinya hendak membuka pintu mobil lalu memasuki.
Awal mula rasa canggung menggerogotinya, tetapi Shara mencoba merefleksikannya dengan santai dan mecoba menyapa pemuda tampan disampingnya walau entah badai apa yg akan dihantamnya setelah itu.
"Ha...I" ujar Shara bergetar pelan.
"Hai" ujar Justin sambil sibuk menyalakan mesin.
Shara mencuri lirikkan kecil dari sudut matanya, untunglah Justin tidak membuat hatinya gondok walau Shara tau sepanjang perjalan akan ditempuh dengan kebisuan.

***

- Justin's POV -

Seruan pikiran Justin mengawang sepanjang hari, hingga tak terasa mobilnya kini sudah mendarat di parkiran studio. Ia menghela nafas sekali saat menarik rem tangan.
Begitu riuhnya otak pemuda itu hingga ia tidak menyadari bahwa Shara untuk kesekian turun terlebih dulu dari mobil tanpa berucap sepatah kata saja. Justin terkesiap sekilas saat mendengar bunyi pintu mobil yang ditutup dengan bantingan cukup keras.
Belakangan Justin memang menangkap bahwa sikap gadis itu agak berubah. Jauh lebih pendiam dan tak pernah pula menanyainya apa-apa lagi. Ia memandangi punggung gadisnya yang menjauh dalam diam. Dari segala perubahan yang terjadi, anehnya, Justin tidak begitu peduli.

***

Aku tiada percaya
Teganya kau putuskan
Indahnya cinta kita
Yang tak ingin ku akhiri
Kau pergi tinggalkanku

***

- Shara's POV -

Shara berjalan tanpa semangat. Sambil menguap pelan, ia berjalan kecil menyusup memasuki pintu utama studio.
Shara menelaah isi lobby bangunan itu sekilas. Tidak begitu ramai. Ia tersenyum kecil saat seorang lelaki yang dikenalnya sedang berjalan tak jauh didepannya, Shara mendesis memanggil
“Ssst”
Lelaki yang dituju, melirik kebelakang, mendapati paras Shara dan Ia melangkah ke sebelah Shara, lalu tiba-tiba mengedarkan pandangannya lagi seakan mencari-cari.
"What?" tanya Shara sambil mengerutkan kening.
Alfredo menatap Shara, mengangkat alisnya iseng
"Where's Justin?"
"Ooh..." tanggap Shara sambil memalingkan muka, mendengus sekilas.
"What happened with you guys?" ujar Alfredo.
Gadis itu menoleh,
"What happened with us??"
Alfredo tertawa pelan,
"Shara, everybody knows you and Justin are having a problem, aren't you? Sometime you guys look as romantic as romeo & juliet but sometime you guys look like tom & jerry. You fight, argue and irritate eachother but at the end of the day you can't live without eachother"
Shara diam saja. Tidak tahu mau menanggapi apa.
Namun pada akhirnya ia menghela nafas dan angkat bicara,
"Yah... me and Justin fight like tom and jerry. but I don't mind cause he is still mine at the end of the day" jawab gadis itu sekenanya, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Justin doesn't have a show?"
Alfredo mengangkat bahu sekilas.
"I think no... Cos Selena still can't come"
"Ha? Emm... Why?" Kata Shara menanyakan hal sekrusial itu.
"Selena canceled the concert because of a family emergency, I heard her mom is in the hospital"
"Sorry to hear that..." Ujar Shara menunduk pelan.
Alfredo tersenyum kecil.
Akhirnya terdengar bunyi gesekan pedar pintu pelan saat mereka mendarat diruangan ayah Shara. Alfredo mengedikkan bahu, mengisyaratkan Shara untuk masuk namun tiba tiba langkah Alfredo terhenti.
"Ah shit! I forgot!"
"What?" Ujar Shara mengerutkan alisnya.
"No... I'll go back, I foget something"
Shara mengangguk lalu menjutkan langkah gontai ke ruangan sedangkan Alfredo kembali pergi entah kemana.
"Dad! Scooter!" Panggil Shara saat memasuki ruangan tersebut.
"Hai girl" jawab Scooter.
"You're with alfredo no Justin?"
"Hemm... Don't know" jawab Shara mengangkat bahunya lalu membanting diri ke sofa lalu membenamkan diri memainkan iphonenya sendiri.

***

- Alfredo's POV -

Setelah melihat Shara mengangguk dan meneruskan perjalanan, Alfredo mempercepat laju jalannya menuju pelataran parkir.
"Hey fredo!"
"Whoa dude!" Ujar Alfredo saat menangkap diri Justin yg menyapanya.
"Where are you going?"
"Car... Wanna take something"
"Oh oke, I go in first..."
Alfredo mengangkat jempolnya, mengisyaratkan tanda 'iya' lalu berlalu ke arah mobilnya.
Ia melangkah penuh irama dan terkesiap saat sepatunya menimbulka bunyi gemerisik aneh di derapan pertama. Alfredo membungkuk lalu memungut sebuah topi 'LA KING' berwarna ungu yang ternyata terinjak ujung sepatunya tak sengaja.
Alfredo melirik kesebelahn kanan dan mendapati mobil Justin yg terparkir berdampingan dengan mobilnya. Alfredo lalu melongokkan kepala. Ia memicingkan mata, bisa melihat bagian belakang tubuh tegap seseorang sedang berjalan menjauh. Milik Justin?

***

- Justin's POV -

Justin merogoh beberapa tempat yang sedang ia singgahi, mencari topi, memang kata yang ringan, 'topi' bahkan sudah berpuluh-puluh Justin mengoleksi topi yg beragam, tapi ini semua dibalik siapa yang memberi topi itu, topi yg sedari tadi sudah tak lagi ada digenggamannya.
Justin melongo sesaat di depan pintu studio. Kenapa tidak juga menemukan topi itu. Ah. Justin mengacak rambutnya. Ia tak pernah merasa sekesal ini pada dirinya sendiri.
Pemuda itu menggeleng geram sekali lalu bergegas turun menuju sebuah ruangan, menyambar kunci mobil pada meja dengan kasar, mengacuhkan Shara yang duduk di sofa sebelah meja tersebut, ia melongo lalu langsung berlari menuju mobilnya.
Ia berlari menaiki elevator, menyusuri setiap lorong lantai dengan teliti.
Dengan tekun, pemuda itu melongok setiap sudut dan kolong.
Justin sedang dibodohi kegilaannya sendiri. tanpa sadar ia mungkin sudah menganggap topi itu adalah jiwanya. Pemuda itu tak lagi peduli soal peluh yang mengaliri wajah tampannya, Ia tak mau menyerah.

***

Nampaknya Justin ternyata tak cukup jeli, untuk tahu bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Alfredo melihat setiap inci keteguhan Justin untuk menemukan apa yang kini berada di tangannya.

***

Justin kembali menyisir setiap sudut mobilnya seperti orang gila. Bahkan ia mengintip tempat paling tidak mungkin seperti dashboard bahkan kap mesin. Tidak. Ada. Justin berdecak lagi dan langsung masuk ke kursi pengemudi. Ia menarik nafas lagi lalu meremas pelan tangannya.
"Sorry..." Batinnya pelan, entah pada siapa.

***

Justin kembali berjalan menuju ruangannya dengan keadaan kembali tanpa benda yg harusnya didapatinya. Justin melongok dari jelndela. Ia mengerutkan kening, merasa ada yang janggal dari sosok perempuan yg bersimpu disofa sana, Ada ingatan yang begitu baru terselip disana, Shara kan tadi ikut bersamanya dalam mobil, Setelah berpikir keras, entah kenapa Shara, nama yang menyergap benaknya, yang pasti tau dimana benda itu.
Justin melangkah tergesa memasuki ruangan yang hanya ada Shara, Alfredo dan Kenny disana yg terlihat sedang berbincang sedikit, Justin masuk membanting pintu lalu membuang pandangan ke segala penjuru, mengacuhkan para penghuni yang sedang melongo menatapinya. Sementara si target pencarian ketakutan sendiri melihat sang pembidik menatapnya dengan nyalang dari kejauhan. Shara mengerut makin ngeri ketika Justin menghampiri dan menarik tangannya keluar tanpa permisi. Ia meringis saat tulang pinggulnya terbentur ujung meja.
Justin menyentak Shara pelan ke salah satu dinding di luar. Menatap gadis itu.
"I wanna ask you..."
Shara mengangguk takut, tak mengerti apa salahnya lagi.
"Did you see purple hat in the car?" Justin bertanya sejelas-jelasnya.
Shara tak menjawab pertanyaannya hanya menggerakkan kepala bolak-balik.
Justin mengetukkan sebelah kakinya dengan frustasi lalu berjalan mondar-mandir, melirik sekilas ke arah Shara.
"Ck! Why I remember you..." Justin berdecak lalu menatapi Shara lagi.
"You are not laying, you are not hiding that hat?" dakwanya.
Shara menggeleng cepat.
"Sorry then..." Justin berdecak lagi lalu mendengus keras.
"Do you want to go home? I'm sleepy" ujar Justin.
Shara mengangguk pelan.

***

Tak pernahkah kau sadari
Akulah yang kau sakiti
Engkau pergi dengan janjimu
yang telah kau ingkari

- Shara's POV -

Shara menyadari kecemasan tingkat akut yang terpancar dari Justin sepanjang hari ini bahkan saat ini didepannya, menanyakan sebuah topi yang sampai harus memperlakukan Shara seperti ini, ini pasti kecemasan bukan tentangnya, Shara mengerti bahwa sosok lain itu telah bersinar terlalu kuat. Sinar yang tak mampu dilawannya, hingga ia tahu dalam sekejap saja takkan ada lagi tempat untuknya disana. Shara mengusap dadanya, membatin sendiri, semoga pada saatnya datang nanti hatinya takkan terluka seberapa sakit.
Shara hendak bergerak meninggalkan Justin untuk bergegas meraih tasnya didalam ruangan.
"Shar..." Panggil suara Justin itu pelan.
"Hmm" jawab Shara tak kalah pelan.
Justin tersenyum ganjil, seperti biasa yang dilakukannya akhir-akhir ini, menutupi sesuatu.
"You go to car first, okey? I wanna meet Scooter first" ujarnya sambil mengangsurkan kunci mobil pada Shara.
Shara mengangguk pasrah, tak bisa membantah. Dan entah kenapa, saat ia melangkah membelakangi pemudanya, Shara merasa akhirnya waktu kesudahan itu akan tiba.
Shara berjalan masuk ke ruangan terlebih dahulu untuk mengambil tasnya yg berdampir disofa, Shara melirik ke arah Kenny dan Alfredo yang menatapnya dalam.
"What?"
"Are you oke?" Ujar Kenny.
"I am... Why? Hahaha" Shara tertawa seri.
"Where are you going Shar?" Tanya Alfredo.
"Home, Justin said he's sleepy"
"Oh... Oke"
"Byee" ujar kata terakhir Shara lalu berlalu untuk pergi ke arah parkiran.

***

- Alfredo's POV -

Alfredo bergerak gelisah di bangkunya seraya melirik sederet update-an terbaru di halaman awal twitternya. Pemuda itu membaca pesan tadi berulang kali dan masih menangkap emosi yang sama dalam deretan kata disana. Pengirimnya sedang kalut dan butuh seseorang untuk menopangnya. Segera.

: my mother had a miscarriage.. God... Why did it happen to me :(

Ia menutup macbooknya, menghela nafas sekilas lalu mengedarkan pandangan hingga fokusnya berpijak pada satu sosok yang melintas didepan ruangannya.
Dan seseorang yang harus berlari menguatkan pengirim pesan ini adalah... Justin.

***

- Justin's POV -

Justin melangkah perlahan menuju parkiran, tiba tiba seseorang dari balik tubuhnya menyebut namanya.
"Justin!"
Justin mengangkat wajah dan mengernyit ketika melihat Alfredo.
"Are you looking at this?" kata Alfredo sambil mengangkat alis dan mengacungkan sebuah topi di tangannya, membuat Justin sontak melotot.
Alfredo mendesah saat Justin menatapnya bingung, lalu mengulurkan tangan, menggerakkan topi yang diapit jemarinya, mengisyaratkan Justin untuk mengambil benda yang digenggamnya.
Alfredo melipat tangan di depan dada,
"Do you know Selena's mother had a miscarriage.. If you have heart come to meet her now! She needs someone, she needs you" tukas Alfredo.
Justin tersentak dengan sebuah kalimat yang membuat hatinya iba,
"What are you waiting for? Go rite now!" Tukas Alfredo lagi. Justin mengangguk lalu kembali berjalan menuju mobilnya.

***

Justin melarikan mobilnya seperti orang kerasukan. Setelah merasa waktu meluruh dan tak lagi membeku, akhirnya ia menyadari bahwa ia telah menemukan dimana gadis itu bersembunyi.
Sedangkan Shara yg sedari tadi tidak tahu apa yang baru terjadi pada Justin, hingga sekarang pemuda itu seakan tak sadar bahwa ada orang lain di sebelah joknya. Shara merasa ia tertampar begitu tiba-tiba, saat melihat kemana Justin baru saja mengarahkan mobilnya ke sebuah Ruamh Sakit.
Justin memarkir mobilnya begitu saja di depan pintu rumah sakit, mengacuhkan hardikan keras orang-orang lalu menyerahkan kunci mobilnya pada seorang laki-laki yang memang berseragam RS namun jelas-jelas bukan petugas valet. Bayangan sosok itu mengasapi otaknya begitu pekat, hingga ia tak mempedulikan apa-apa selain tujuannya.
Waktu meluruh terlalu cepat bagi Justin, membuatnya merasa harus terus berlari melewati lorong-lorong kamar pasien, menembus bau alcohol dan obat-obatan,
Pemuda itu terus berlari hingga akhirnya ia berhenti saat nafasnya tertatih. Bukan karena lelah, tapi karena dua meter dari tempatnya berdiri disanalah gadis yang dituju.
Justin terpaku sesaat, lalu entah bagaimana sel otaknya bisa bekerja dan memerintahkan kakinya untuk berjalan maju, mendekati seorang gadis yang sedang duduk dan terisak dalam tangkupan tangannya sendiri di depan ruang ICU. Justin terus berjalan tanpa kesadaran yang membayangi. yang ia tahu, tetap satu, disana adalah Selena.

***

- Shara's POV -

Mau tau mau, Shara harus ikut mengejar Justin, bagaimana pun ia disana bersamanya walau kabut itu kini harus dipaksa datang lagi untuk memporakporadakan hatinya saat semua yang terjadi dihadapannya ini nyata, Shara tak mampu menangkapnya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. tubuhnya kaku, lututnya lemas. Dan saat akhirnya dimensi waktu kembali bergulir sealur porosnya, Shara merasa bumi memaksanya ikut masuk ke dalam gorong-gorong tanah saat
Ia melihat Justin berdiri tepat di depan Selena. Pemuda itu terpana saat gadis di hadapannya mengangkat wajah dan dengan ragu, berdiri di depannya. Dan karena detik tak mau lagi menunggu, Justin menarik Selena ke dalam rengkuhannya. Inderanya hanya merasakan satu hal yang nyata. Selena menangis gemetar dalam kungkungan lengan Justin.
Saat Justin mengusap rambut ikal Selena pelan, kerinduan itu menyeruak disana. Dekapan itu seakan bercahaya. Menyorot kedua anak manusia yang bertaut seakan hanya ada mereka. Meredupkan segala sesuatu di sekitarnya. Termasuk gadis lain yang masih tak mengerti tak juga percaya. Mereka tak tahu bahwa saat hati seseorang patah, lukanya tertoreh seperih ini. Shara ternganga melihat kejadian yang berangsur. Jika ini mimpi, tolong bangunkan aku sekarang, itu pinta dalam hati Shara.
Shara merasa ia serapuh kaca, yang sedang memuai dan sedikit waktu lagi saja akan pecah berkeping ketika kesadaran mengembalikan tumpuan kakinya yang kini bergetar menjadi normal. Ia tidak menyangka bahwa kebenaran akan menyapanya secepat ini dan kenapa sosok misterius itu harus menasbihkan diri dalam wujud Selena.
Ia tak mampu berpikir. Karena sedari tadi system otaknya kacau yang kini seakan mulai mati rasa.
Ini seperti masuk kedalam jerat angka kesepian yg mendalam hingga tertusuk lebih dan lebih mendalam, bukan?
kenyataan lainnya juga menghantamnya terlalu cepat dalam jeda waktu terlalu singkat. Shara masih membidik dua manusia di dekatnya dengan sejuta ekspresi yang ia sendiri tak tahu apa maknanya. Ekspresi yang bahkan terlalu rumit untuk dijabarkan dengan ribuan kosakata. Tiba-tiba, raut Justin terlihat panic, sebelah lengannya menopang punggung Selena, yang nampaknya baru saja tak sadarkan diri.
Pemuda itu menepuk pipi gadis dalam rengkuhnya perlahan, menggumamkan sesuatu dengan teramat lembut. Bahkan dari kejauhan, Shara bisa mendengar benaknya membayangkan aksen panik dalam suara sangat lembut itu memanggil-manggil nama Selena. Bukan Shara. Bukan namanya.
Shara tahu ia takkan sanggup menarik nafas lagi. Dadanya sudah terlalu penuh oleh himpitan rasa. Satu helaan yang bisa membuatnya sadar bahwa ia tak sedang bermimpi dan Shara pun takkan sanggup berdiri lagi.
Akhirnya, saat Justin berlari melewati tempatnya berdiri sambil membopong Selena dan memanggil-manggil tenaga medis dengan raut kelewat cemas, Shara baru menyadari satu hal yang pasti. Yang mencabiknya sekali lagi dan tak mampu ia pungkiri. Bahkan kehadiran raganya sudah tak terlihat oleh orang yang paling ia sayangi.
Detik itu pun, Shara mulai tertatih.

***

Memang tak kan mudah
Bagiku tuk lupakan segalanya
Aku pergi untuk dia
(Judika-Aku yang tersakiti)


***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar