Re-post
...:: How To Love ::...
Part 19
Story by @BieberLSIndo
***
"Part of me wishes that i could forget you too. Forget meeting you,
finding what you are and everything that has happened. Because i don't
want it to be like this. I don't want to feel like this. But i can't.
With everything that has happened, i can't loose the way i feel about
you." - Elena Gilbert, The Vampire Diaries.
***
The day after.
Pagi itu, Shara masih melayang di tepian danau mimpi semunya saat
tiba-tiba terdengar gedoran keras di pintu kamarnya. Gadis itu
tersentak, mengerjap cepat lalu melirik ke arah weker dan tanggalan di
sebelah tempat tidurnya. Jam setengah tujuh, hari sabtu. Shara mengucek
mata sambil menelan ludah. Shara bangkit dan berjalan panik, mencari
lalu menyampirkan handuk pada pundaknya dan membuka pintu yang masih di
gedor. Ia tersenyum meminta maaf pada ayahnya yang tengah berkacak
pinggang.
"Shar? You haven't taken a bath, have you? Oh Shara!! Cmon we have to go" seru lelaki itu sambil mendelik.
"Sorry hehe" kata Shara sambil mengatupkan kedua tangan.
"Aku mandi sebentar boleh ya,dad?"
Wilson menggeleng-geleng,
"Ini sudah jam berapa ? Mandi lima menit." katanya tegas.
"Tujuh menit ya, dad" tawar Shara sambil mengacungkan tujuh jarinya,
lalu langsung menuntup pintu kamar hotelnya dan berlari kabur ke kamar
mandi, mengacuhkan ayahnya yang berteriak-teriak
"Tujuh menit. GA LEBIH !"
Akhirnya gadis itu berbilas super kilat, lalu berbenah diri dan buru-buru menuju lobby hotel untuk bertemu yang lain.
Setelah pintu lift terbuka Shara mengangkat wajah, dan pada saat itu
pula Shara terpaksa berhenti mendadak karena tiba-tiba seseorang
berhenti tepat di depan wajahnya. Tak lama orang itu terbang mengambang
ke samping, menunjukan wajah tampan seorang pemuda. Justin.
Shara terperangah.
Justin memandangi gadis di hadapannya, lalu tanpa tedeng aling-aling menarik tangan Shara agar mengikutinya ke halaman depan.
Shara memandangi telapaknya yang digenggam jemari besar Justin,
kehangatan itu mengusiknya. Lalu gadis itu bergerak memperhatikan tubuh
pemuda yang dibalut kaus putih super polos dipadu celana jeans selutut.
Terlalu santai untuk ukuran Justin Drew Bieber.
"Justin," katanya tertahan, berdiri diam di satu titik hingga Justin tersentak dan berbalik badan
"Where are you going?" Tanyanya.
Pemuda itu mengernyit,
"Hang out"
"But... My dad?" ucap Shara tertahan.
"I have told him," jawab Justi.
"But Sel.." sahut gadis itu pelan.
Justin mengernyit lagi,
"Don't ask too much, just go" ujar Justin tersenyum meremehkan.
Shara mengangkat bahu, Gadis itu menghembuskan nafas, merasa sedikit
ganjil ketika menyadari betapa rindunya ia pada saat-saat seperti ini,
masa-masa perdebatan lidah dengan pemuda ini, seperti sebelum segala hal
memusingkan menyangkut hati terjadi. Ironisnya, kenapa saat-saat ini
harus berulang saat Shara telah memantapkan keputusannya lagi bahwa ...
Ah, gadis itu tersadar sendiri. Ia melepas dari genggaman Justin.
"Oke" ujar Shara berusaha tersenyum.
Justin tersentak sekilas ketika Shara melepas cengkraman tangannya.
Senyum gadis itu dan panggilannya yang dulu, membangkitkan perasaan
Justin akan sesuatu. Sesuatu yang membuat lidahnya kelu. Tapi tidak
boleh. Ada alasan tersembunyi mengapa Justin rela menemani Shara sepagi
ini.
Kemarin, terjadi konfrontasi kecil antaranya dengan Selena. Gadis
berwajah tirus itu hampir menangis karena menuduhnya menyembunyikan
sesuatan. Isakan Selena membuatnya ditampar janjinya sendiri bahwa gadis
itu takkan menangis di hadapannya lagi, membuatnya bingung, membuatnya
membutuhkan zat adiksi itu dalam kadar tinggi untuk mempertahankan
kewarasannya agar cukup untuk menghadapi Selena lagi. Dan karena itulah
ia mencari Shara, tak lain karena kebutuhan yang harus dipenuhinya.
Kembali, untuk Selena.
***
Mencoba tuk pahami
Mencari celah hatimu
Bila harus menangis
Aku kan menangis
Namun air mata
Kini telah habis
***
Justin menarik nafas, menyalakan starter mobil lalu tak lama
menggerakkan setir. Sesungguhnya, ia mati gaya. Tak tahu harus berbuat
apa. Banyak hal tiba-tiba mengaduk benaknya saat ini juga.
Sambar-menyambar. Shara. Selena. Shara. Selena.
Justin tercekat lagi saat menyadari satu hal.
Pemuda itu mencoba memutuskan dengan menyelami dasar otaknya, lupa bahwa
jairngan itu tenagh dikacaukan euphoria. Yang takkan dikalahkan apapun,
karena ini waktu puncaknya ia Berjaya. Justin tak mengerti bahwa hal
yang begitu kilat datang, secepat itu pula akan menghilang.
Maka, ia menjawabi keresahannya sendiri dengan logika. Tanpa bertanya
pada organ kecil lain yang berwenang dan sesungguhnya lebih dapat
dipercaya. Ditampiknya rasa bersalah yang menyelinap dengan kegilaan
yang sama. Maka antara Selena dan Shara. Tak ada sedikitpun suara untuk
nama gadis kedua tadi di benaknya.
Penantian dan ikrarnya tempo hari, lantas segala euphoria gila ini,
membuatnya tak mampu mengenyahkan segala ingatan tentang Selena. Seakan
kini, jika tak memikirkan gadis kecilnya itu sedetik saja, ia lebih baik
bunuh diri.
Untuk membunuh kebisuan waktu, pemuda itu memutuskan menyalakan radio.
Berharap sayupan intro lagu bisa memendam otaknya yang sedang riuh.
Justin mencuri pandang kearah Shara lewat sudut matanya, memperhatikan
gadis itu menghela nafas panjang kelewat lelah sambil memainkan ujung
roknya gelisah. Sesaat, sesaat saja ada deburan kecil dalam dadanya.
Monster masa lalu, teman seperjuangannya saat berusaha menggapai gadis
ini sempat menggeliat, lalu dipaksanya untuk mati suri lagi.
Dengan sikap seenaknya, Justin seakan baru menyadari. Mungkin benar
bahwa sudah terlalu banyak pengorbanannya untuk Shara. Terlalu lama
waktu yang disia-siakannya utnuk gadis ini, yang andai saja dapat
dimintanya lagi lalu diberikannya untuk Selena.
Justin tak sadar, bahwa sikap egois dan sok tahunya pada diri sendiri
itu terlampau menyakiti. Bagi sang gadis destinasi yang bahkan
sesungguhnya tak mendengar racauan otak pemuda itu tadi.
Sementara Shara sedari tadi menghitungi berapa banyak mobil disepanjang
jalan itu. Ia bingung sendiri mau berbuat apa. Juga tak mengerti.
Setelah itu, Shara memutuskan menekan punggung tangan kanannya dengan
telunjuk kiri, ingin memastikan apa telunjuknya lalu akan menembus udara
atau tidak. Entah untuk keberapa juta kali, ia menghela nafas. Shara
bahkan tak berani sekadar melirik pemuda di sebelahnya. Ia takut
mendapati penolakan terpancar di mata Justin dan dirinya pun merapuh
lagi.
Ini bukan apa-apa kan, Shara? batinnya mencoba menguatkan diri sendiri
dengan rapalan mantra munafiknya yang biasa. Bukankah kamu sudah berkata
asal dia di sisimu saja tak apa ? Bahkan walau hanya sepotong raga,
tanpa jiwa, tanpa cinta.
Shara tak sadar dirinya mulai gila, karena ia bergegas menjawabi pertanyaan internal hatinya sendiri. Iya. Bukan. Apa. Apa.
Entah sayatan macam apa yang akan membuka dan menggarami lukanya lagi
nanti. Gadis itu tak berapa peduli. Pikirnya, yang penting Justin
disini, dalam interval beberapa inci. Walau Shara menyadari bahwa pemuda
itu telah membentang jarak sejauh matahari. Jarak yang sengaja direka
Justin agar gadis itu tak bisa mencapainya lagi. Tapi Shara berjanji
takkan menyerah hingga kesudahannya tiba. Angin telah membisiki
telinganya bahwa kiamat yang dikiranya ini bukan kiamat. Hari-hari ini
baru permulaan, yang akan menguras hatinya sedemikian rupa hingga ia tak
mampu lagi mengeluarkan air mata.
Shara menghentikan pikirannya saat merasakan mobil Justin tak lagi
menderu. Ia mengangkat wajah lalu terhenyak saat melihat dimana Justin
baru saja berhenti. Tower Bridge London.
Justin sudah memarkirkan kendaraan kesayangannya di lapak parkir vallet.
Mereka akan berkeliling tanpa kendaraan, mereka akan mengintari
indahnya Tower Bridge dengan berjalan kaki.
Shara menoleh ke arah Justin.
"Calm down... I have this!" ujar Justin lalu memakaikan topi hitam
hoodie dan tak lupa kacamata yg setia menemaninya kemanapun dia pergi.
Shara hanya mengangguk lalu turun dari mobil dan berjalan berdampingan
dengan Justin menelusuri salah satu pusat wisata di London.
Tangan Justin meraih tangan Shara, dengan lembut dia terus memegang
jemari Shara sepanjang perjalanan. Shara terenyak, ia memandangi
tangannya yg berpautan dengan tangan Justin. Memejam mata sambil
menancapkan juru doa di dalam hatinya. Jika ini untuk terakhir kali,
biarkan, biarkan dia melangkah bersamaku...
***
Tak larut Sebuah struktur dan situs yang paling mengesankan di ibukota,
Tower Bridge di London yg berdiri di atas Sungai Thames sejak 1894 dan
merupakan salah satu landmark yang paling dikenal di dunia.
Justin menjelaskan sedetail-detailnya sejarah tentang tempat wisata yg
sedang mereka pijak, setelah seluruh Tower Bridge sudah dijajaki selesai
Justin menutup susunan sejarah yg ia kuasa dengan memandang Shara
dengan wajah bangga, membuat gadis itu tak mampu menahan senyum gelinya.
"Why are smiling?" tanya Justin sedikit tersinggung.
Shara menggeleng sambil menahan senyum lalu melirik jam ditangannya,
"Justin, may we go home now?"
"Hem?" tanya Justin bingung.
Shara tersenyum tipis. Menyiapkan diri, jawabnya sendiri dalam hati. Ia
menatap Justin sekilas lalu mengangguk mendahului pemuda itu.
"Shara!" seru Justin tertahan, membuat Shara menoleh lagi dan bertanya,
"Why?"
"Wait me..." kata Justin, menyusul dan berdiri di depan Shara lalu mencengkram lengan gadis itu erat-erat.
Shara mendesah, lagi-lagi. Tapi entah kenapa gadis itu tak menampik
genggaman Justin kali ini. Mungkin karena toh ia tahu waktu itu kian
mendekat. Biarlah ia merasakan debaran liar ini untuk terakhir kali.
Justin kini berjalan di depan Shara. Setelah keluar dari area Tower,
Justin sigap membawa Shara kemobilnya yg tak terlampau jauh dari pintu
keluar. Justin melepas tangan Shara lalu mendorong gadis itu untuk masuk
ke dalam mobilnya, diikuti dirinya.
Setelah mobil sudah berada di tengah jalanan yg mulai dirayap oleh
beberapa mobil lain, seperti biasa Tak ada suara ketika mobil berjalan
selain lagu yg mengalun sayup dari radio mobil. Lalu entah siapa yang
memulai, mungkin karena suasana yang terbawa, mata Justin dan Shara
bertumbukan di saat yang sama. Angin alam yang berhembus dari jendela
kaca buram membawa harum Aigner dan kayu manis itu untuk saling
bertukar.
Shara menunduk jengah lalu tak lama mengangkat wajah saat melihat tangan
Justin menggenggam jemarinya. Sesaat, Shara merasa kisah ini begitu
sederhana. Hanya ada dia, Justin dan waktu yan seakan tak pernah
berlalu.
Seandainya Shara bisa menghentikan semua disini. Ada rasa damai yang
menyelinap saat gadis itu melihat Justin memejamkan mata, sambil
merengkuh jemarinya mendekati jantung pemuda itu sendiri.
Shara tahu bahwa waktu, nyatanya takkan bisa dikristalkan. Ia mendesah
lalu menggenggam tangan Justin erat-erat pula. Tahu bahwa semua ini akan
berakhir sebentar lagi.
Mereka sedang mengawang sejenak, dan saat mereka kembali pada dunia bernama realitas, takkan ada lagi mimpi-mimpi ini.
Shara tersenyum tipis, dalam usaha menahan tangis yang hampir kabur dari
sudut matanya. Ia menghela nafas, tak bisa menahan diri untuk
menyandarkan kepalanya di bahu Justin. Dan merasa, bahwa kadang
membohongi diri untuk terakhir kali, takkan ada salahnya.
***
Segalanya telah kuberikan
Tapi kau tak pernah ada pengertian
Mungkin kita harus jalani
Cinta memang cukup sampai disini
***
"Cheating MUCH?!" (CUKUP selingkuhnya ?!)
Seruan emosional itu menyembur dari sebuah suara renyah, tepat ketika
Justin dan Shara bergerak memasuki hotel melalui lobby sambil tertawa
berdua karena mengingat tingkah laku pemuda itu di Tower Bridge tadi.
Justin terkesiap, sekejap melepas genggaman jarinya yg menyatu dijari Shara,
"Sel?" pemuda itu tergeragap. Ia bergegas menghampiri tubuh Selena yang
bergetar penuh kemarahan. Pemuda itu terkejut ketika gadis itu
menampiknya.
"Don't touch!" seru Justin menjauhi lengan Justin, menahan air mata yang mulai menggelegak dari pelupuknya.
"Sel.. Please listen to me" ujar Justin pelan, berusaha meraih gadis itu.
"You said" ucap Selena sambil berjalan mundur dan menuding Justin,
"You said you didn't want to make me crying again, did you huh? But now?
You're with her... (kamu ga mau bikin aku nangis di depan kamu lagi !
Tapi sekarang ?! Malah kamu sama dia ...)" gadis itu ganti menuding
Shara yang diam mematung.
"And you!" kata Selena kalap sambil berjalan mendekati rival Shara dan menunjuk gadis tak bersalah itu dengan telunjuknya,
"i said. STAY. AWAY. FROM. HIM ! Isn't CLEAR MUCH ? Don't you know i
need him ? More than you do !" gadis itu memainkan dinamika nada
ucapannya dengan baik, menekan pada kata kata tertelak, kali ini ia
mendesis.
"And this is called fate .. Something that can't be avoided. I belong
for him. And vice versa. So, let him go ! CAN'T YOU ?! (Dan inilah
takdir .. Sesuatu yang ga bisa dihindari. Aku milik dia, dan sebaliknya.
Lepasin dia ! GA BISA ?!)" kecemburuan buta membuat Selena seakan akan
dengan pongah mendahului nasib.
"Sel .." Justin merengkuh bahu Shara yang berguncang dari belakang,
memeluk gadis itu demikian erat untuk meredakan emosinya. Ia tak
menyangka gadis itu akan semeledak ini. Justin tak tega melihatnya.
"Justin" panggilnya pelan, menenangkan "Sorry. But.. She is nothing for
me (Maaf. Tapi .. dia bukan siapa-siapa)" Justin menatap Shara sekilas,
seakan karena kesalahan gadis itu lah Selena-nya menangis lagi, euphoria
kecemasan membutakan ingatannya pada tawa yang padahal baru saja
terpeta tak lama ini.
"She is nothing for me (Dia bukan siapa-siapa)" ulang pemuda itu
"She is just..." sepah yang harus lekas dibuang setelah zat adiksinya sudah cukup memulihkan kewarasan Justin lagi.
Pemuda itu memandang Shara tajam, memuntahkan kata katanya,
"just past that after this, would no longer worth (cuma masa lalu yang setelah ini, takkan lagi berharga)"
Shara terhenyak, merasakan kenangan mulai menguburnya dalam kepahitan
tak tertanggungkan. Setitik air mata merembes tanggulnya, karena sesak
itu tak mampu lagi ditampung rongga dadanya. Shara mengerti setelah ini,
setiap tarikan nafas adalah satu tarikan nafas lagi mendekati kematian.
Kematian hati. Dan ia tak peduli. Karena inilah. Akhir dari segala
akhir.
***
Mencoba tuk rasuki
Menyentuh palung jiwamu
Bila harus mengiba
Aku kan mengiba
Namun rasa ini
Telah sampai diujung lelahku...
***
Inilah. Akhir. Cerita. Cinta.
Sesungguhnya, Shara tak seberapa terganggu dengan tragedi siang tadi.
Karena itu yang diam diam ia tunggu. Pelatuk fatal yang harus ditarik
agar keputusannya semakin siap dipentalkan.
Shara sudah tahu bahwa segalanya memang serupa bom waktu. Yang sudah
terpicu sejak awal malam itu. Dan saat-saat singkat bersama Justin hanya
sela dalam detik sampah yang dipulung tak rela untuknya. Lalu siang
tadi sampailah sulutan itu pada utasan terakhir sang sumbu. Yang lantas
meledak dan menghancurkan segalanya menjadi abu, termasuk sampah itu.
Pintu jati ini, lagi-lagi terdaulat menjadi saksi. Atas segala yang
telah dan akan terjadi. Terkenang di benak Shara pelatuk yang dilepas
Justin pagi tadi. Dan disinilah ia untuk mengamini ucapan itu. Masa lalu
tidak berharga ini harus terputus, agar pemuda itu bisa berjalan terus.
Shara memasuki kamar Justin tanpa mengetuk. Apapun yang terjadi, ia
sudah tak mau lagi peduli. Karena telah diterimanya cacian yang paling
menyakitkan hati. Cacian penolakan yang tak sanggup lagi mementahkan
keputusannya kali ini.
Shara memegangi jantungnya sendiri. Sesuai janjinya pada Ryan, tak boleh ada lagi air mata yang terkuras sehabis ini.
Dan hati mengenal kepedihannya sendiri, yang tak bisa dipungkiri
penampikan. Kepedihan menguliti hati Shara hingga berdarah, ketika
mendapati punggung pemuda itu tengah berada di balkon, memunggungi pintu
kaca yang terbuka dimana didekatnya Shara berdiri.
Dan disinilah Shara, dengan setiap inci keteguhan hati. Yang kali ini takkan dibiarkannya tergoyahkan apapun lagi.
Begitu banyak yang ditahan dalam ujung lidahnya. Semua kenangan,
kenyataan bahkan angan yang belum sempat terpetakan. Segala perjuangan
teramat panjang yang ternyata sebegitu singkat dipertahankan. Semuanya
tersumbat dalam pangkal tenggorok gadis itu.
Shara melangkah pelan memasuki ambang pintu, membiarkan derapnya tak
terdengar. Gadis itu terdiam, merenungi tiap waktu yang tersisa seakan
ini akhir hidupnya, membiarkan potongan siluet tegap itu menyihirnya,
siluet yang membuatnya terperosok lebih dalam lagi.
Beberapa menit yang terlewat tanpa sedikitpun suara mulai terasa
mencekam. Hingga akhirnya suara sedingin laut baltik itu terdengar,
"Looking at me?"
Pertanyaan itu menyentak Shara, menyadarkan Shara bahwa sesungguhnya
pemuda itu tahu ia disana. Dan cara panggilan siluet itu untuknya kali
ini, membuat gadis itu mengerti pula bahwa ia memang bukan siapa-siapa
lagi.
Shara menunduk lalu mengulum bibir, tiba-tiba tak tahu bagaimana memulai
penghabisan ini karena lidahnya kelu. Lantas lagi-lagi disiakannya
waktu yang terus berlalu.
"How long will you stand there?"
Shara mengangkat wajah tepat ke ketika mendapati Justin menengok sekilas
ke arahnya lewat balik bahu. Bola mata pencair tembaga itu mengeras,
lalu tak lama pemuda itu membuang pandangan ke depan lagi.
Shara menggigit bibir, memainkan jarinya lalu menghela nafas panjang sebelum melantun balasan.
"Just a minutes...," jawab gadis itu telak, membuat Justin diam-diam tersentak.
Tiga ujaran penghambat keputusan Shara kala itu. Dua belas silabel yang
kini terasa hampa. Karena gadis itu menyadari bahwa 'sebentar' pun hanya
kata. Kerancuan makna bisa membuatnya berarti, berlaku dan berakhir
kapan saja. Mungkin esok hari, sepuluh tahun lagi atau bagi Shara,
bermakna kini. Detik berarti yang terus menetes dan tergenang mati.
Ini apa yang sebenarnya ingin ia katakan di taman tempo hari.
"You know what? Recipients said it was understood to what extent its
power to survive. Three words that had made him numb. And he could no
longer understand what its purpose (Kamu tahu ? Penerima kata itu sudah
mengerti sampai batas mana kekuatannya untuk bertahan. Tiga kata itu
sudah membuatnya mati rasa. Dan tak bisa lagi ia mengerti apa
tujuannya)"
Shara menghela nafas panjang. Karena ia tahu setelah ini setiap tarikan
nafas dan kata akan terasa menyiksa. Diiringi keperihan dalam torehan
yang memeluknya hingga ke tulang. Dengan ulu hati tertekan butiran
kristal yang coba ia tahan, gadis itu berdeklamasi melanjutkan.
"The past can't be erased, but It's not about the memories that come
with the past that need to be forgotten and... That's us (Masa lalu
mungkin memang tidak bisa dihilangkan, tapi paling tidak .. ada titik
dimana ia bisa dilupakan dan tak lagi perlu untuk dikenang. Lalu ...
begitulah kita)"
Shara menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Karena sungguhpun, tiap
goresan kata membuka lagi lembaran peristiwa yang pernah berlangsung di
antara mereka.
Disneyland. Hujan. Kenangan.
Atas gedung. Lantunan lagu. Pernyataan pemuda itu.
Makan malam. Sebuah tarian. Suatu perayaan Anniversary di Paris.
Namun entah kenapa segalanya menjadi begitu asing. Seakan ingatan milik
orang lain dijejalkan paksa dalam batok kepalanya. Bahkan tawa yang
sempat terlagu pagi tadi terasa bergaung begitu jauh dari dasar hati.
Lantas, klimaks penolakan itu bergema pula. Terpantul teramat kentara
dari sel-sel otak Shara. Menyesah jantungnya yang sudah mulai bernanah.
Shara menarik nafas, lalu memandang ke arah langit hitam. Seolah mencari
ketenangan dari angkasa kekelaman. Seolah kidung perpisahan sudah dapat
didengarnya bersenandung mengoyak langit malam, gadis itu berkata lagi.
"it imma leave everything in the past choices, mistakes, and mainly relationships if we broke up that's how its going to stay"
Shara mengejang, lalu melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang
punggung Justin, ia mendendangkan kata penghabisannya. Lirih,
"And than... Thank you for how you comforted me when I was totally
down... Thank you for times of you who made everything perfect for me...
Thank you for putting a smile on my face... Thank you for the broken
heart... Thankyou for everything... Cos after this, nothing will be
reminded and thankyou cos you have ever been mine Maka terimakasih untuk
segalanya. Karena setelah ini takkan ada lagi ingatan yang harus
dikenang, terimakasih ... Karena kamu sudah pernah ada."
Dengan segenap keberanian yang tertinggal, Shara menyusupkan kedua
lengannya untuk memeluk tubuh Justin dari belakang dan membenamkan
wajahnya disana. Membiarkan harum pemuda itu mencekat nafasnya untuk
terakhir kali.
Bahkan udara tak diizinkannya mengisi sela kosong yang tersisa.
Shara tak ingin detak ini berakhir. Namun, pelukan itu ternyata terlalu
menyesakkan. Sedingin pelukan kematian. Pelukan yang menjejal kenyataan
bahwa mereka harus berpisah jalan. Dan bahwa takkan ada lagi alasan
pembantahan.
Shara menggigit bibir, melepas kungkungan lengannya lalu berlari pergi.
Gadis itu menutup pintu ruang eksekusi hatinya dengan keras, lalu
berusaha menarik udara dengan nafas tersengal. Tangis yang ia tahan
mati-matian ternyata menekan jantungnya yang menyesak.
Shara mulai berjalan tersaruk, seperti orang yang mengidap gangguan pernafasan saat didengarnya sebuah suara menyejukkan.
"Shara?"
Gadis itu menoleh melihat Ryan berdiri di dekatnya dengan tatapan penuh
kecemasan. Seakan tahu apa yang baru terjadi, ia bertanya pelan,
"Broke up?"
Shara mengulum lidah, lalu berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk busur senyum yang dipaksakan dan mengangguk.
Lalu tiba-tiba, seakan tahu inilah pemuda yang telah menyiapkan bahu untuknya, sebutir air mata menuruni pipi Shara.
"Don't..." gadis itu bergegas menghapus tetesan yang muncul seenaknya
tadi, tanpa sadar bahwa gerakannya membuat kawanan air tadi tak mampu
ditahan lebih lama lagi.
"Enough..." Ryan menarik Shara ke dalam dekapannya lagi. Membiarkan
udara membawa senandung kesedihan gadis itu yang rela didengarnya untuk
kesekian kali.
Shara akhirnya meluruh dalam rengkuhan itu, membiarkan tangis
mengalirkan semua kesesakan keluar dari pembuluh darahnya. Membiarkan
harum lain ini mengembalikan nafas dan mencuci bersih ingatannya.
"So-so-sorry." ujar Shara di sela isakan.
"It's the last for Justin..."
Shar tak tahu kenapa matanya berkunang, atau apakah Ryan betul betul
mencium puncak kepalanya. Karena setelah itu pening hebat datang. Dan
segalanya menghilang.
***
Sementara, Justin sendiri tak tahu mengapa tubuhnya terpaku sedari tadi.
Mungkin ikrar yang pernah dilontarkan lidahnya pada Selena, membuat
organ yang sama tergembok hingga ia tak dapat mengucap satu pun kata.
Lalu tak lama angin berhembus. Membawa sisa harum kayu manis itu
melayang di udara lalu menyapa penciuman pemuda yang sama. Justin
terkesiap ketika kesadaran meluluhlantakkannya.
Shara. Yang sudah bukan miliknya.
Justin tak tahu. Kenapa setelah itu ada bagian hatinya yang terasa berdenyut-denyut menyakitkan. Seolah kehilangan.
***
Segalanya telah kuberikan
Tapi kau tak pernah ada pengertian
Mungkin kita harus jalani
Cinta memang cukup sampai disini
***